ZR and Partner

we are can help your problem

 
We Office
Kantor Advokat
Zainuddin H.Abdulkadir, SH & Rekan
alamat: Jl. Hasanuddin No. 83 B Kota Pontianak
telp.0561-7566555
fax.0561 773126
email : zanhak @gmail.com
Partnership
Konsultasi
konsultasi gratis
telp.0561 7566555
dengan Anselma, SH
Just For You
zwani.com myspace graphic comments
Traffic
who online
Your Comments here

ShoutMix chat widget
Kalender

Free Blog Content

Your music
Email
You Tube
Photobucket
Sengketa Yurisprudensi Dengan Peraturan
Wednesday, December 31, 2008

Perundang-Undangan

A.Permasalahan
Sangat dimungkinkan terjadi sengketa antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Contoh: ketentuan pasal 40 KHI. Yang melarang perkawinan beda agama. Tetapi putusan Mahkamah Agung nomor: 1400/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 membolehkan perkawinan beda agama, dan memerintahkan kepada pegawai pencatatan pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Voni Ghani (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen).
Meskipun KHI bukan bertaraf Undang-undang, tetapi dari segi teknis dan formil dia dapat digolongan Statue Law, karena secara teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No.1 Tahun 1991.
Contoh lain mengenai jual beli tanah. Sebelum berlaku UUPA dan PP No. 10 tahun 1961, yurisprudensi membenarkan keabsahan jual-beli tanah didasarkan atas kesepakatan harga dan tanah yang menjadi objek jual-beli meskipun jual-beli dilakukan dibawah tangan, terutama hal ini dulu berlaku atas tanah yang berstatus hukum adat. Sekarang timbul masalah. Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA jo. Pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 pemindahan hak baik dalam bentuk jual-beli dilakukan didepan PPAT, dan oleh karena itu dibuat akta PPAT.
Dengan demikian telah terjadi saling bertentangan antara yurispredensi dengan ketentuan hukum perundang-undangan. Bagaimana pandangan mengenai hal tersebut akan dibahas berikut ini.
B. Dalam Kaidah Umum (pada sistem hukum Indonesia), Undang-Undang Dimenangkan
Sikap atau tindakan yang utama menghadapi pertentangan antara yurisprudensi dengan undang-undang sedapat mungkin berpegang kepada prinsip:
“ Yurisprudensi menundukkan diri kepada undang-undang yang berlaku”
Jadi, undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi atau “Statue Law Prevail”. Alasannya adalah pada negara yang menganut Statue Law System seperti Indonesia, pada dasarnya hanya peraturan perundang-undangan saja yang memiliki legitimasi formil berdasarkan ketatanegaraan. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataan praktik, diketahui peran dan kewenangan badan-badan peradilan untuk bertindak sebagai “Judge Make Law” yang menciptakan lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, namun kedudukan formilnya tetap berada dibawah hukum perundang-undangan. Pengakuan yurisprudensi sebagai sumber hukum, memang dilihat dari sudut teori ilmu hukum secara hierarkis tetap ditempatkan dibawah hukum perundang-undangan. Jadi jelas bahwa baik dari sudut ketatanegaraan maupun doktrin ilmu hukum, kedudukkan formil undang-undang lebih unggul dari yurispridensi.
C. Kaidah Dalam Kasus Dimenangkan Yurisprudensi
Tidak selamanya asas Statue Law Prevail ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasustik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi.
Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan.
1) Didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum.
Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yurisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai hukum dan keadilannya dari peraturan pasal undang-undang, mesti didasarkan atas ”kepatutan” dan ”perlindungan kepentinggan umum”. Hakim harus mengguji dan mengganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam yuriprudensi yang bersangkutan jauh lebih pontensial bobot kepatutannya dan perlindungannya terhadap kepentingan umum dibanding dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini agar dapat dilakukan komparasi analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa modal tersebut sangat sulit seorang hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undang-undang.
2) Cara mengunggulkan Yurisprudensi melalui ”Contra Legem
Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komparatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih pontensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentingan umum, dibandingkan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.
Berbarengan dengan itu hakim langsung melakukan tindakan ”contra legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan.
Disebabkan nilai bobot yurisprudensi lebih pontensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum, undang-undang yang disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurusprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar dan rujukan hukum penyelesaian perkara.
3) Yurisprudensi dipertahankan dengan melenturkan peraturan perundang-undangan.
Cara penerapan lain dalam masalah terjadinya peertentangan antara yurisprudensi dengan ketentuan perundang-undangan :
§ Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi; dan
§ Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal perundang-undangan yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperatif menjadi fakultatif (Paulus, Yurisprudensi dalam Perspektif Pembangunan hukum administrasi negara, 1995)
Memang ada kemiripan cara ini dengan tindakan contra legem, tetapi ada perbedaan. Penerapan contra legem pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh. Keberadaan pasal itu didalam perundang-undangan sama sekali tidak ada. Lain halnya dengan tindakkan mempertahankan yurisprudensi yang dibarenggi dengan tindakan memperlunak pasal perundang-undangan. Dalam hal ini yurisprudensi tidak secara penuh melemparkan nilai yang tekandung dalam pasal, tetapi hanya diperlunak dari sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif.

Labels:

posted by Zainuddin H.Abdulkadir @ Wednesday, December 31, 2008   0 comments
Photobucket
Sengketa Yurisprudensi Dengan Peraturan


Perundang-Undangan

by.Yogiikhwan

A.Permasalahan

Sangat dimungkinkan terjadi sengketa antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Contoh: ketentuan pasal 40 KHI. Yang melarang perkawinan beda agama. Tetapi putusan Mahkamah Agung nomor: 1400/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 membolehkan perkawinan beda agama, dan memerintahkan kepada pegawai pencatatan pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Voni Ghani (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen).

Meskipun KHI bukan bertaraf Undang-undang, tetapi dari segi teknis dan formil dia dapat digolongan Statue Law, karena secara teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No.1 Tahun 1991.

Contoh lain mengenai jual beli tanah. Sebelum berlaku UUPA dan PP No. 10 tahun 1961, yurisprudensi membenarkan keabsahan jual-beli tanah didasarkan atas kesepakatan harga dan tanah yang menjadi objek jual-beli meskipun jual-beli dilakukan dibawah tangan, terutama hal ini dulu berlaku atas tanah yang berstatus hukum adat. Sekarang timbul masalah. Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA jo. Pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 pemindahan hak baik dalam bentuk jual-beli dilakukan didepan PPAT, dan oleh karena itu dibuat akta PPAT.

Dengan demikian telah terjadi saling bertentangan antara yurispredensi dengan ketentuan hukum perundang-undangan. Bagaimana pandangan mengenai hal tersebut akan dibahas berikut ini.

B. Dalam Kaidah Umum (pada sistem hukum Indonesia), Undang-Undang Dimenangkan

Sikap atau tindakan yang utama menghadapi pertentangan antara yurisprudensi dengan undang-undang sedapat mungkin berpegang kepada prinsip:

“ Yurisprudensi menundukkan diri kepada undang-undang yang berlaku”

Jadi, undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi atau “Statue Law Prevail”. Alasannya adalah pada negara yang menganut Statue Law System seperti Indonesia, pada dasarnya hanya peraturan perundang-undangan saja yang memiliki legitimasi formil berdasarkan ketatanegaraan. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataan praktik, diketahui peran dan kewenangan badan-badan peradilan untuk bertindak sebagai “Judge Make Law” yang menciptakan lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, namun kedudukan formilnya tetap berada dibawah hukum perundang-undangan. Pengakuan yurisprudensi sebagai sumber hukum, memang dilihat dari sudut teori ilmu hukum secara hierarkis tetap ditempatkan dibawah hukum perundang-undangan. Jadi jelas bahwa baik dari sudut ketatanegaraan maupun doktrin ilmu hukum, kedudukkan formil undang-undang lebih unggul dari yurispridensi.

C. Kaidah Dalam Kasus Dimenangkan Yurisprudensi

Tidak selamanya asas Statue Law Prevail ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasustik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi.

Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan.

1) Didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum.

Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yurisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai hukum dan keadilannya dari peraturan pasal undang-undang, mesti didasarkan atas ”kepatutan” dan ”perlindungan kepentinggan umum”. Hakim harus mengguji dan mengganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam yuriprudensi yang bersangkutan jauh lebih pontensial bobot kepatutannya dan perlindungannya terhadap kepentingan umum dibanding dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini agar dapat dilakukan komparasi analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa modal tersebut sangat sulit seorang hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undang-undang.

2) Cara mengunggulkan Yurisprudensi melalui ”Contra Legem

Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komparatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih pontensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentingan umum, dibandingkan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.

Berbarengan dengan itu hakim langsung melakukan tindakan ”contra legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan.

Disebabkan nilai bobot yurisprudensi lebih pontensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum, undang-undang yang disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurusprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar dan rujukan hukum penyelesaian perkara.

3) Yurisprudensi dipertahankan dengan melenturkan peraturan perundang-undangan.

Cara penerapan lain dalam masalah terjadinya peertentangan antara yurisprudensi dengan ketentuan perundang-undangan :

§ Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi; dan

§ Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal perundang-undangan yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperatif menjadi fakultatif (Paulus, Yurisprudensi dalam Perspektif Pembangunan hukum administrasi negara, 1995)

Memang ada kemiripan cara ini dengan tindakan contra legem, tetapi ada perbedaan. Penerapan contra legem pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh. Keberadaan pasal itu didalam perundang-undangan sama sekali tidak ada. Lain halnya dengan tindakkan mempertahankan yurisprudensi yang dibarenggi dengan tindakan memperlunak pasal perundang-undangan. Dalam hal ini yurisprudensi tidak secara penuh melemparkan nilai yang tekandung dalam pasal, tetapi hanya diperlunak dari sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif.

Labels:

posted by Zainuddin H.Abdulkadir @ Wednesday, December 31, 2008   1 comments
Photobucket
Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa
by.yogiikhwan

1. Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian[1] dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:[2]

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu[3]:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.

Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.[4]

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:[5]

1) Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

2) Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.

2. Sanksi

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu[6]:

1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2) Pembatalan perjanjian;

3) Peralihan resiko;

4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

3. Ganti Kerugian

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)

Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).[7]

Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:[8]

a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A

b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).

Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:

a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);

b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

4. Keadaan Memaksa (overmach)

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:[9]

a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;

b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;

c) Resiko tidak beralih kepada debitor;

d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.

Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif:

Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.

Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.

Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.

Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.

5. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah

Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.[10]

Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.

Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.

Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.

Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.


Labels:

posted by Zainuddin H.Abdulkadir @ Wednesday, December 31, 2008   0 comments
Photobucket
KASUS WANPRESTASI LOAN AGREEMENT


PERAN ARBITRASE

Kasus posisi

· PT LUMBUNG TANI INDONESIA (PT. LTI), berdomisili di Jalan Ngagel 85 A Surabaya, mendirikan pabrik gula fructosa yang berlokasi di Mojokerto, rencananya memproduksi 50% EFS (Enriched Fructosa Syrup), 77% DS (Dry System) dari bahan baku akar singkong.

· Untuk keperluan tersebut PT. LTI memerlukan seperangkat mesin buatan Jerman.

Tanggal 15 November 1984 PT. LTI membeli mesin-mesin dari KLOEKNER INDUSTRIE ANLAGEN GmbH (KINA) yang bekerja sama dengan STARCOSA GmbH (KINA & STARCOSA), keduanya berdomisili di Republik Federasi Jerman.

· Cara pembelian, penjualan, pembayaran dan penyerahan serta pemasangan mesin dituangkan dalam EXPORT-CONTRACT antara PT. LTI dengan KINA & STARCOSA.

· Komponen mesin yang dibeli oleh PT. LTI dari KINA & STARCOSA disepakati berkapasitas maksimum 100 ton perhari, dengan nilai kontrak DM 15.920.000.

· Tanggal 11 Desember 1984, PT. LTI membuat perjanjian pinjaman i.q. “LOAN AGREEMENT” dengan DG BANK DEUTSCHE GENOSSENSCHAFT BANK (DG BANK) berkantor pusat di Plaats der Republik, 6000 Frankfurt/Main, Republik Federasi Jerman.

· DG Bank berdasarkan LOAN AGREEMENT telah memberikan pinjaman/kredit kepada PT. LTI sebesar DM 13.532.000 untuk pembayaran 85% dari nilai kontrak pembelian mesin-mesin oleh PT. LTI kepada KINA & STARCOSA.

· Pembayaran harga mesin-mesin oleh PT. LTI kepada KINA & STARCOSA selain kredit yang diperoleh dari DG Bank, juga dibayar dengan cara 5% down payment (dibayar tunai), 10% dengan pembukaan L/C pada Bank Dagang Negara dikonfirmasikan oleh PT. LTI di Frankfurt Jerman.

· Berdasarkan LOAN AGREEMENT, PT. LTI berkewajiban membayar pinjaman/kredit dimaksud kepada DG Bank dalam 10 kali cicilan yang sama besarnya dibayar setiap setengah tahun secara beruntun sebagaimana dinyatakan dalam ”REPAYMENT SCHEDULE”.

· Kewajiban PT. LTI lain-lainnya antara lain:

1. Membayar bunga atas kredit yang masih terhutang sebesar 9,5% per annum.

2. Bunga keterlambatan 3.5% di atas suku bunga yang ditentukan untuk setiap kali keterlambatan pembayaran.

3. Ganti rugi i.c. “GLOBAL SETTLEMENT of DAMAGES” sebesar 3.5% di atas suku bunga yang ditentukan sebagai “CHARGE of DEFAULT” apabila dan setiap kali bercidera janji.

4. Dengan keterlambatan dan Global Settlement of Damages masing-masing sebesar 3.5% di atas suku bunga yang ditentukan diperhitungkan dari mulai hari bayar/gugur daripada pembayaran yang terlambat tersebut dikredit dan dibukukan pada Rekening Kreditor.

5. Membayar dengan segera dan sekaligus ongkos pembiayaan tambahan “ADDITIONAL FINANCING COST” yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan Repayment Schedule.

· Ternyata PT. LTI sama sekali belum melakukan kewajiban pembayaran sesuai dengan “LOAN AGREEMENT’ kepada DG Bank, meskipun hutangnya sejak lama jatuh tempo dan telah ditagih berulang kali.

· PT. LTI hanya melakukan pembayaran sebagian bunga yang terhutang kepada DG Bank sebagai berikut:

1. Sebesar DM 163.169.99 (masih kurang DM 63) bulan Maret-April 1986 sebagai pelunasan pembayaran bunga I yang jatuh tempo tanggal 27 Februari 1987;

2. Sebesar DM 100.000 (2 x DM 50.000) tanggal 21 Juli 1987 pelunasan pembayaran bunga ke II jatuh tempo 27 Agustus 1987 sisanya sampai sekarang masih terhutang;

3 Sebesar DM 25.000 bulan Mei 1987 pelunasan pembayaran di muka untuk bunga ke III jatuh tempo 27 Februari 1987.

· Tanggal 7 Januari 1985, ada dibuat perjanjian “PAYMENT GUARANTEE” antara DG Bank dengan PT. LTI dan para Penanggung Hutang (Borgtocht).

· Dalam “payment guarantee” ditentukan bahwa PT. LTI bersama-sama bertanggungjawab renteng dengan para Penanggung Hutang atas pelunasan pembayaran hutangnya PT. LTI kepada DG Bank.

· Para Penanggung Hutang tersebut adalah:

1. PT. RAJUT DJATIM BARU, berdomisili di Jalan Pregolan Bunder 19 Surabaya.

2. MR. DAVID LAUWIDJAJA, berdomisili di Jalan Pregolan Bunder 19 Surabaya.

3. MRS. ANNEKE LAUWIDJAJA, berdomisili di Jalan Ngagel 85 A Surabaya.

4. MRS ESTER LAUWIDJAJA, berdomisili di Jalan Pregolan Bunder 19 Surabaya.

· Sesuai pasal 11 “LOAN AGREEMENT” jumlah hutang pokok bunga kontraktuil, bunga keterlambatan, Charge for Default PT. LTI kepada DG Bank sampai jatuh tempo pembayaran dirinci sebagai berikut:

1. Bunga dan Utang Pokok

jatuh tempo sampai 31 Oktober 1988. DM 8.327.429.37,-

2. Utang selebihnya meskipun menurut Repayment

Schedule belum jatuh tempo karena cidera janji

pada saat tanggal 6 Maret 1989 DM 8.119.200.00,-

3. Bunga terutang atas utang butir 2 selama periode

31 Oktober 1988 – 6 Maret 1989 DM 269.963.40,-

4. Bunga keterlambatan atas pembayaran utang pokok DM 1.352.598.57,-

5. Charge of Default atas pembayaran-pembayaran

yang jatuh tempo total pembayaran yang terhutang

pada tanggal 30 Juni 1989 DM 694.050.29,-

Total DM18.763.241.63,-

· Ternyata baik PT. LTI maupun para Penanggung Hutang sesuai Loan Agreement dan Payment Guarantee tidak melakukan kewajiban membayar hutang (pinjaman/kreditnya PT. LTI kepada DG Bank, sehingga PT. LTI dan para Penanggung Hutang telah cidera janji.

· Berdasarkan hal tersebut DG Bank mengajukan gugatan perdata sebagai Penggugat di Pengadilan Negeri Surabaya (Reg. No. 568/PDT.G/1989/PN.Sby) terhadap para TERGUGAT:

1. PT LUMBUNG TANI INDONESIA sebagai Tergugat I

2. PT. RAJUT DJATIM BARU sebagai Tergugat III

3. MR. DAVID LAUWIDJAJA sebagai Tergugat IV

4. MRS. ANNEKE LAUWIDJAJA sebagai Tergugat V

5. MRS ESTER LAUWIDJAJA sebagai Tergugat VI

· Petitum dalam gugatan yang diajukan Penggugat sebagai berikut:

PRIMAIR:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2. Menyatakan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) dan atau Sita Penyesuaian yang dilaksanakan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Surabaya adalah sah dan berharga.

3. Menyatakan sebagai hukum, Tergugat I, II, III, IV dan V telah melakukan cidera janji (wanprestasi) terhadap Penggugat karena tidak melakukan kewajibannya dengan benar dan baik.

4. Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar seluruh jumlah hutang yang belum dilunasi kepada Penggugat yaitu sebesar DM 18.763.241.63 (Deutsche Mark: delapan belas juta tujuh ratus enam puluh tiga ribu dua ratus empat puluh satu dan enam puluh tiga per seratus) ditambah bunga yang berjalan terus dan biaya-biaya lainnya sesuai perjanjian Loan Agreement, terhitung sejak tanggal gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Surabaya hingga putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang pasti sah/atau dapat dilaksanakan.

5. Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun para Tergugat menggunakan upaya hukum lain (uit voorbaar bij voorraad).

6. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara.

SUBSIDAIR:

· Mohon putusan sesuai alur dan patut (ex aequo et bono).

· Harta Kekayaan para Tergugat telah diletakkan Vergelikende Beslag dan Conservatoir Beslag oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Surabaya.

· Terhadap gugatan tersebut, Tergugat I, II, III dan IV memberikan tanggapan, berupa EKSEPSI dan JAWABAN terhadap pokok sengketa.

DALAM EKSEPSI:

Pengadilan Negeri Surabaya harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara ini (Exceptie van onbevoegdheid). Penggugat seharusnya mengajukan tuntutan (claim)-nya di hadapan BADAN ARBITRASE.

· Alasan yang diajukan pada pokoknya sebagai berikut:

1. Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat yang menjadi dasar gugatan dituangkan dalam “LOAN AGREEMENT” tanggal 11 Desember 1984;

2. Pasal 15:2 alinea pertama “LOAN AGREEMENT” tegas-tegas menyatakan keinginan para pihak untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan melalui BADAN ARBITRASE, berbunyi “Semua perselisihan/sengketa yang timbul dalam hubungannya dengan LOAN AGREEMENT ini, termasuk sengketa-sengketa mengenai keabsahan dari LOAN AGREEMENT atau setiap ketentuan yang ada didalamnya, akan diselesaikan oleh ARBITRASE berdasarkan ketentuan-ketentuan INTERNATIONAL CHAMBER COMMERCE (ICC) sesuai dengan Persetujuan Arbitrase yang terlampir pada LOAN AGREEMENT SEBAGAI LAMPIRAN V.”

3. Pasal 15:2 alinea kedua LOAN AGREEMENT berbunyi: “Walaupun demikian, Pemberi Pinjaman memiliki hak untuk melancarkan tindakan hukum di depan Pengadilan yang berwenang di Indonesia, yang tidak mengecualikan setiap wilayah hukum berwenang lainnya. Sejauh menyangkut tindakan hukum di depan Pengadilan yang berwenang, Arbitrase tidak akan dilakukan;

4. Penyelesaian sengketa/perselisihan yang timbul dalam hubungannya dengan LOAN AGREEMENT tersebut harus diutamakan atau mendahulukan penyelesaiannya melalui BADAN ARBITRASE dan baru kemudian dapat dilakukan melalui Pengadilan; bahkan apabila terdapat penyitaan, pembeslahan, penahanan atau sita jaminan dalam hubungan sengketa tersebut, penyelesaian melaui Badan Arbitrase tidak dapat ditiadakan/dikecualikan.

5. Penyitaan (sita jaminan/sita penyesuaian) tersebut seharusnya didasarkan pada hasil putusan Badan Arbitrase, sehingga Sita Jaminan/Sita Penyesuaian yang telah dilakukan dalam perkara ini harus dinyatakan batal demi hukum.

6. Yurispundensi tetap Mahkamah Agung RI menyatakan dengan tegas, apabila pihak-pihak dalam suatu perjanjian sepakat menyelesaikan sengketanya di hadapan BADAN ARBITRASE yang dengan tegas-tegas dinyatakan dalam 1 klausula Arbitrase pada perjanjian tersebut, maka apabila salah satu pihak menyimpang dari klausula Arbitrase tersebut dengan mengajukan sengketanya di hadapan Pengadilan Negeri, seharusnya Pengadilan Negeri menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

· Atas eksepsi tersebut Tergugat I, II, III dan IV mohon putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang mengadili perkara ini;

2. Membatalkan/mencabut Sita Jaminan/Sita Penyesuaian yang telah diletakkan dalam perkara ini;

3. Menolak gugatan, atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan tidak dapat diterima;

4. Menghukum Penggugat untuk membayar ongkos perkara.

· Para Tergugat I, II, III dan IV selain mengajukan Eksepsi dan jawaban dalam pokok perkara juga mengajukan gugatan Rekonpesi pada pokoknya sebagai berikut:

PRIMAIR:

1. Mengabulkan seluruh gugatan Rekonpensi.

2. Menyatakan Sita Jaminan yang telah diletakkan atas harta kekayaan Tergugat Rekonpensi sah dan berharga.

3. Menyatakan Tergugat Rekonpensi telah turut melakukan perbuatan Ingkar Janji dan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh KINA & STARCOSA terhadap para Penggugat Rekonpensi.

4. Dst…….dst……dst.

PENGADILAN NEGERI:

· Hakim Pertama yang mengadili perkara ini, dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut:

DALAM EKSEPSI:

· Eksepsi yang diajukan para Tergugat (I, II, III dan IV) tentang Exceptie van Onbevoegdheid, dinyatakan DITOLAK oleh Hakim, sebagaimana isi dictum Putusan Sela tanggal 27 Februari 1990 berbunyi sebagai berikut:

MENGADILI:

· Sebelum memutus Pokok Perkara:

1. Menolak Eksepsi Tergugat I, II, III dan IV;

2. Menyatakan Pengadilan Negeri Surabaya berwenang untuk mengadili perkara ini;

3. Memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara ini;

4. Menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir.

· Hakim Pertama berpendapat, tentang penolakan Eksepsi para Tergugat sebagai berikut:

· Pasal 15:2 “loan agreement” menegaskan: “Walaupun demikian Pemberi Pinjaman memiliki hak untuk melancarkan tindakan hukum di depan Pengadilan yang berwenang di Indonesia, dengan tidak mengecualikan setiap wilayah hukum berwenang lainnya sejauh menyangkut tindakan hukum di Pengadilan yang berwenang, ARBITRASE tidak akan dilakukan, tetapi pengeluaran perintah Penyitaan atau Sita Jaminan, Penahanan tidak akan mengecualikan arbitarse”.

· Dengan demikian Penggugat berhak untuk mengajukan perkara ini ke forum Pengadilan Negeri atau forum Arbitrase, karena Penggugat telah menggunakan haknya mengajukan perkara ini ke forum Pengadilan Negri dalam hal ini Pengadilan Negri Surabaya, maka Pengadilan Negeri Surabaya berwenang mengadili perkara ini;

· Karena Pengadilan Negeri Surabaya berwenang mengadili perkara ini, hukum yang berlaku adalah hukum Republik Indonesia termasuk Hukum Acaranya, karena itu Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag) yang dilakukan menurut ketentuan dan cara-cara berdasarkan hukum di Indonesia adalah sah dan berharga;

· Tentang tempat pelaksanaan penerapan hukum/tentang pilihan domisili, karena Penggugat telah memilih forum Pengadilan Negeri di Indonesia untuk menyelesaikan sengketanya, bertolak dari pasal 118 HIR yang menyebutkan pada azasnya gugatan diajukan di tempat tinggal Tergugat, adalah tepat dan benar Penggugat menggunakan hak dan azas umum tersebut, kendatipun dalam LOAN AGREEMENT menentukan Frankfurt/Main sebagai tempat penerapan hukum.

· Tentang Eksepsi Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang mengadili perkara ini, adalah tidak tepat dan tidak beralasan, karena itu harus ditolak, dan biaya perkara karena belum selesai ditangguhkan hingga putusan akhir.

DALAM KONPENSI:

· Tergugat I, II, III dan IV mengakui “LOAN AGREEMENT” dan belum dapat melakukan kewajibannya sesuai dengan Loan Agreement, karena itu terbukti Tergugat I, menerima pinjman/kredit sebesar DM 13.532.000 dari Penggugat, dan Tergugat I terbukti belum melakukan kewajibannya sesui dengan LOAN AGREEMENT, REPAYMENT SCHEDULE dan PAYMENT GUARANTEE.

Tergugat I, meminta supaya bunga ditetapkan 6% setahun karena belum dapat melakukan kewajibannya sesuai dengan Loan Agreement dengan alasan:

- tentang adanya kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh KINA & STARCOSA.

- loan agreement merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan KONTRAK EKSPORT antara Tergugat I dengan KINA & STARCOSA.

· Bukti P-1 “Loan Agreement” untuk menjamin pembayaran 85% dari harga mesin untuk memproduksi “Enriched Fructosa Syrup” yang dibeli Tergugat I dari KINA & STARCOSA yang dituangkan dalam Kontrak Eksport.

· Pasal 17:4 “Loan Agreement” yang diakui Tergugat I, dengan jelas ditentukan: “this Loan Agreement is legally independent of the Export-Contract.” (Perjanjian Loan Agreement ini secara hukum terpisah dari kontrak eksport), maka jelas pula Loan Agreement bukan merupakan bagian yang tidak terpisah dari eksport kontrak. Dengan demikian apabila ada kelalaian KINA & STARCOSA adalah semata-mata tanggung jawab KINA & STARCOSA, dan Penggugat tidak dapat dipertanggungjawabkan.

· Loan Agreement tidak dapat dikesampingkan dengan menunjuk pada pasal 17:4 Loan Agreement tidak dapat dikesampingkan dengan menunjuk pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tentang itikad baik dalam pelaksanaan setiap perjanjian, karena Loan Agreement terlepas dari kontrak eksport, dengan sendirinya tidak ada itikad tidak baik Penggugat dalam pelaksanaan Loan Agreement.

· Bunga 9.5% per tahun telah diperjanjikan dalam Loan Agreement, apabila butir 5.1, maka besarnya bunga 9.5%/tahun mengikat Penggugat dan Tergugat I.

· Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Loan Agreement, apabila peminjam tidak dapat membayar pokok pinjaman dan bunga sampai tanggal pelaksanaan pembayaran, pemberi kredit berhak membatalkan perjanjian dan menuntut seluruh pembayaran dan bunga dan jumlah lainnya.

· Karena Tergugat I belum melaksanakan kewajibannya, oleh karena itu telah melakukan perbuatan ingkar janji.

· Payment Guarantee untuk menjamin pembayaran hutang Tergugat I, kepada Penggugat, penjamin hutang Tergugat I adalah Tergugat II, III,IV dan V yang bersama-sama dengan Tergugat I bertanggungjawab renteng atas pelunasan pembayaran hutang Tergugat I dan segala sesuatunya, dan para Penjamin telah mengetahui Loan Agreement.

· Berdasarkan bukti Payment Guarantee, Tergugat I, II, III, IV dan V wajib bertanggung jawab atas perbuatan ingkar janji Tergugat I secara tanggung renteng untuk melaksanakan kewajiban Tergugat I menurut Loan Agreement.

· Tergugat I baru melaksanakan sebagian pembayaran bunga yang terhutang, sedangkan total pembayaran yang terhutang pada tanggal 30 Juni 1989 yang wajib dibayar Tergugat I bersama-sama Tergugat II, III, IV dan V yang tidak disangkal Tergugat I sebesar DM18.763.241.63 sesuai dengan jumlah tersebut dengan ketentuan butir 5 Loan Agreement, ditambah bunga berjalan terus terhitung sejak gugatan didaftarkan di Kepaniteraan sampai putusan ini dapat dilaksanakan.

· Tergugat V yang tidak hadir di persidangan setelah dipanggil dengan patut harus dihukum untuk menaati putusan yang akan dijatuhkan.

· Vergelijkende Beslag dan Concervatoir Beslag terhadap harta kekayaan para Tergugat yang telah dilakukan Juru Sita Pengadilan Negeri Surabaya dilakukan menurut ketentuan dan cara-cara yang ditentukan undang-undang, karena itu dinyatakan sah dan berharga.

· Karena Penggugat berhasil membuktikan gugatannya, gugatan Penggugat harus dikabulkan, sedang Tergugat I, II, III, IV dan V adalah pihak yang kalah dibebankan untuk membayar ongkos perkara.

· Karena gugatan yang terbukti berdasarkan akte authentik dan ternyata harta kekayaan Tergugat I dan Tergugat lainnya menjadi agunan hutang-hutang Tergugat dan telah disita Eksekusi Pengadilan Negeri Surabaya atas permintaan BNI Surabaya, telah menunjukkan itikad tidak baik Tergugat I dalam melaksanakan kewajibannya mengembalikan pinjaman yang diterimanya, disamping itu untuk memberikan jaminan bagi Investor Asing menanam modalnya di Indonesia, cukup alasan menyatakan putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun Tergugat Banding atau Kasasi, sesuai dengan pasal 180 HIR.

DALAM REKONPENSI:

· Bukti T.I-1 “Kontrak Eksport” adalah kontrak eksport antara Tergugat I dengan KINA & STARCOSA, sedang Bukti P-1 “Loan Agreement” perjanjian pinjaman antara Tergugat Rekonpensi dengan Penggugat Rekonpensi dan benar P-1 untuk menjamin pembayaran 85% dari harga mesin yang dibeli Penggugat Rekonpensi dari KINA & STARCOSA.

· Pasal 17:4 Loan Agreement ditentukan: “this Loan Agreement is legally independent of the Export-Contract.” (Perjanjian Loan Agreement ini secara hukum terpisah dari kontrak eksport).

· Bertolak dari bukti P-1 tersebut, andai kata dalam pelaksanaan Kontrak Eksport KINA & STARCOSA melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian bagi Penggugat Rekonpensi, Tergugat Rekonpensi sama sekali tidak dapat dikaitkan apalagi dipertanggung jawabkan secara renteng.

· Apabila KINA & STARCOSA melakukan perbuatan wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak eksport, seyogianya Penggugat Rekonpensi gugatan di Pengadilan Negeri untuk menuntut adanya wanprestasi dan ganti rugi dari KINA & STARCOSA.

· Berdasarkan pasal 17:4 Loan Agreement secara hukum terpisah dengan kontrak eksport, dan berdasarkan pasal 1338 ayat 3 BW, perjanjian haruslah didasarkan kepada itikad baik, tidak ada alasan menurut hukum Penggugat Rekonpensi sendiri menyatakan KINA & STARCOSA telah melakukan wanprestasi dan menimbulkan kerugian, kecuali dengan satu putusan Pengadilan, apalagi mengaitkannya dengan tanggung jawab Tergugat Rekonpensi.

· Oleh karena gugatan Rekonpensi tidak terbutki, harus dinyatakan ditolak keseluruhannya.

· Akhirnya Hakim pertama menjatuhkan putusan pada pokoknya sebagai berikut:

DALAM KONPENSI:

· 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2. Menyatakan sebagai hukum Tergugat I, II, III, IV dan V telah melakukan wanprestasi.

3. Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar seluruh jumlah hutang kepada Penggugat sebesar DM 18.763.241.63 (Deutsche Mark: Delapan belas juta tujuh ratus enam puluh tiga ribu dua ratus empat puluh satu dan enam puluh tiga per seratus) ditambah bunga yang berjalan terus dan biaya lainnya sesuai perjanjian Loan Agreement, terhitung sejak gugatan ini didaftarkan sampai dengan perkara ini dilaksanakan.

4. Menyatakan Sita Perbandingan atau Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag) dan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang dilakukan dalam perkara ini adalah sah dan berharga.

Dst…………..dst……..dst.

DALAM REKONPENSI:

· - Menolak gugatan Pengugat Rekonpensi.

- Menyatakan biaya dalam Rekonpensi NIHIL.

PENGADILAN TINGGI:

· Pihak Tergugat I, II, III, dan IV menolak putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya tersebut di atas, dan mohon pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya.

· Hakim banding setelah memeriksa perkara ini, dalam pertimbangan putusannya pada pokoknya berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum Hakim Pertama yang diuraikan di dalam putusannya sudah tepat dan benar, oleh karena itu diambil alih Pengadilan Tinggi sebagai pertimbangannya sendiri dalam memutus perkara ini, oleh karena itu baik putusan sela maupun putusan akhir Pengadilan Negeri Surabaya tersebut dapat dikuatkan.

MAHKAMAH AGUNG RI:

· Putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas ditolak oleh para Tergugat I, II, III, dan IV dan mohon pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI dengan mengemukakan “Keberatan Kasasi” yang isi pokoknya:

1. Pengadilan Tinggi Surabaya dalam putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan memori banding para Pemohon Kasasi/ Tergugat asal I, II, III, dan IV. Pengadilan Tinggi Surabaya hanya mengoper seluruh pertimbangan hukum Pengadilan Negeri sehingga Pengadilan Tinggi tidak menuruti Surat Edaran MARI tanggal 2 Agustus 1962 No. 856 /62/189K/Sip/1962 yang dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia;

2. Pengadilan Tinggi Surabaya dalam memeriksa perkara ini begitu saja mengambil oper segala pertimbangan hukum judex facti Pengadilan Negeri Surabaya. Seharusnya Hakim Banding memeriksa kembali perkara dalam keseluruhannya baik mengenai fakta maupun mengenai pengetrapan hukumnya. Oleh karena itu bertentangan dengan Yurisprudensi tetap MARI dalam putusannya No. 9511 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1973;

3. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang hanya menyetujui keputusan Pengadilan Negeri Surabaya a quo tanpa memberikan pertimbangan hukum yang tepat yang mengandung “persetujuannya” itu haruslah dinyatakan tidak cukup. Putusan Pengadilan Tinggi bertentangan dengan Yurisprudensi tetap MARI dalam putusannya No. 9K/Sip/1972 tanggal 19 Maret 1972;

4. Para Pemohon Kasasi/Tergugat asal I, II, III dan IV tidak sependapat dan sangat keberatan atas pertimbangan hukum judex facti mengenai kewenangan memeriksa dan mengadili perkara ini seperti terurai dalam putusan sela yang kemudian dipertahankan pada putusan akhir dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya karena berdasarkan artikel 15.1 dan artikel 15.2 dari LOAN AGREEMENT bukti P-1, menetapkan bahwa antara Pemohon Kasasi/Tergugat-tergugat asal dan Termohon Kasasi/Penggugat asal telah disepakati secara tegas tentang pilihan hukum (yaitu hukum Republik Federasi Jerman) dan tempat pelaksanaan penerapan hukumnya (adalah Frankfurt-am Main) serta forum Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul;

Berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata, maka apa yang telah disepakati secara sah berlaku sebagi undang-undang yang mengikat, maka Loan Agreement untuk pilihan hukum dan tempat penerapah hukum haruslah di Republik Federasi Jerman. Pemohon Kasasi telah menunjuk dan mengangkat Dr. Harald Voelze Boersenplatz 1 am Main sebagai agen untuk pelayanan proses Arbitrase di Republik Federasi Jerman.

Dengan demikian penyelesaian sengketa yang timbul terlebih dahulu sebagai pilihan utama diselesaikan melalui BADAN ARBITRASE, sehingga Termohon kasasi/Penggugat asal telah keliru mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Surabaya. Oleh karena itu Pengadilan Negeri Surabaya dinyatkan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini;

5. Pemohon Kasasi tidak sependapat dan sangat berkeberatan pertimbangan hukum judec facti tentan pasal 17:4 Loan Agreement tersebut. Loan Agreement – bukti P-1 adalah bagaian yang tak terpisahkan dan saling kait mengkait dengan Export Contract bukti T-1;

6. Pertimbangan hukum judex facti mengenai bunga untuk jumlah pinjaman yang belum dibayar sebesar 9.5% setahun ternyata tidak konsisten dengan pertimbangan hukum yang lain. Tentang bunga judex facti mendasarkan pada artikel 5.1 Loan Agreement, tentang pilihan hukum judex facti telah melanggar artikel 15.1 dan 15.2 Loan Agreement;

7. Judex facti sama sekali tidak memeriksa dan memberikan pertimbagnan hukum atas gugatan Rekonpensi para Pemohon Kasasi/Tergugat-tergugat asal.

Tindakan KINA & STARCOSA yang tidak sesuai dengan perjanjian eksport contract yang telah disepakati adalah merupakan wanprestasi dan oleh karena Loan Agreement tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan Export Contract, maka Termohon Kasasi/Penggugat asal harus pula bertanggung jawab atas perbuatan wanprestasi KINA & STARCOSA.

· Mamakah Agung RI setelah memeriksa perkara ini dalam tingkat kasasi, dalam putusannya berpendirian bahwa keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ad. 4 dapat dibenarkan karena judex factie telah salah menerapkan hukum yang dalam putusannya telah menolak Eksepsi Pemohon Kasasi/Tergugat-tergugat asal.

· Pendirian Mahkamah Agung ini didasari oleh alasan yuridis yang intisarinya sbb:

· Loan Agreement dalam sengketa, menetapkan pada pasal 15 (1,2), bahwa Loan Agreement ini ditundukkan pada hukum FEDERAL REPUBLIC of GERMANY;

Segala sengketa yang mungkin timbul sehubungan dengan perjanjian pinjaman tersebut akan diselesaikan melalui ARBITRASE;

· Berdasarkan hal-jal tersebut di atas, maka berarti dalam perjanjian ini ada KLAUSULA ARBITRASE, yang menurut Yurisprudensi tetap Indonesia menyebabkan Pengadilan tidak berwenang lagi mengadili perkara yang terjadi karena sengketa pinjaman tersebut;

· Bahwa akan tetapi pada pasal 15.2 melanjutkan menyatakan: “bahwa kreditur” (“Lender”) tetap mempunyai hak untuk membawa perkara ke depan Pengadilan di Indonesia;

· Menurut pendapat Mahkamah Agung alinea tersebut di atas (pasal 15.2 alinea kedua) haruslah diartikan sebgai tidak sejalan bahkan bertentangan denga pasal 1.2 yang menentukan bahwa untuk “Loan Agreement ini diperlakukan hukum dari Federal Republic of Germany, hal mana tentu tidak dapat dilaksanakan Pengadilan Indonesia;

· Selebihnya dari itu, ketentuan bahwa Kreditur (“Lender”) tetap mempunyai hak untuk mengajukan sengketa kepada Pengadilan Indonesia yang berwenang, adalah ketentuan yang tidak seimbang, karena debitur (“Borrower”) tidak memiliki hak yang demikian, dalam hal mana Pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Agung) berwenang menyatkan bahwa alinea kedua dari pasal 15.2 LOAN AGREEMENT tersebut tidak dapat diperlakukan;

· Karena alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa dalam “LOAN AGREEMENT” ini terdapat KLAUSULE ARBITRASE, dan berarti pula Pengadilan haruslah menyatakan diri tidak berwenang;

· Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pada keberatan ad.4 tersebut di atas dengan tanpa mempertimbangkan alasan-alasan kasasi lainnya yang diajukan oleh Pemohon-pemohon Kasasi: PT. LUMBUNG TANI INDONESIA dkk. tersebut dan untuk membatalakan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Surabaya tesebut, sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini yang seluruh amarnya berbunyi sebagai yang akan disebutkan di bawah ini;

· Oleh karena dalam perkara ini gugatan Penggugat akan dinyatakan tidak dapat diterima, maka Sita Perbandingan atau Sita Penyesuaian (Vergelikende Beslag) dan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang telah dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Surabaya tersebut harus dinyatakan tidak sah dan tidak berharga dan oleh karena itu harus diperintahkan pula untuk mengangkat sita tersebut.

· Berdasar atas pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung RI memberikan putusan sebagai berikut:

MENGADILI:

- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon-pemohon kasasi:

1. PT LUMBUNG TANI INDONESIA ,

2. PT. RAJUT DJATIM BARU,

3. MR. DAVID LAUWIDJAJA,

4. MRS. ANNEKE LAUWIDJAJA,

- Membatalkan putusan pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 1 Oktober 1991 No. 769/Pdt/1990/PT.Sby, (yo putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 21 Juli 1990 No. 568/Pdt.G/1989/PN. Sby., tersebut;

DAN MENGADILI SENDIRI:

DALAM EKSEPSI:

- Menyatakan Eksepsi Tergugat I, II, III dan IV dapat diterima;

- Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa perkara ini;

DALAM KONPENSI:

- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

- Menyatakan Sita Perbandingan atau Sita Penyesuaian (Vergelikende Beslag) dan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang telah dilakukan dalam perkara ini tidak sah dan tidak berharga;

- Memerintahkan Pengdilan Negeri Surabaya untuk mengangkat sita tersebut.

DALAM REKONPENSI:

- Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima;

- Dst…………..dst…………..dst……………

CATATAN:

· Dalam Loan Agreement ex pasal 15 (1) telah disepakati bahwa Loan Agreement ini ditundukkan pada Hukum Federal Republic of Germany dan segala sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase. Ketentuan ini mengandung arti bahwa Loan Agreement tersebut terdapat Klausula Arbitrase, sehingga Badan Peradilan di Indonesia tidak berwenang mengadili perkara ini.

· Mahkamah Agung dalam putusan kasasi berwenang untuk menyatakan bahwa ketentuan dalam alinea kedua dari pasal 15.2 dari Loan Agreement, tidak dapat diperlakukan, karena mengandung ketentuan yang tidak seimbang antara Hak Kreditur dengan Debitur (borrower) mengenai hak untuk mengajukan sengketa yang timbul dari pelaksanaan Loan Agreement ke Pengadilan Indonesia.

· Mengenai masalah Badan Arbitrasi ini dipersilahkan memeriksa Varia Pengadilan Tahun IV No. 40 – halaman 110-151.

· Demikian catatan atas kasus ini.

(Ali Boediarto)

Pengadilan Negeri Surabaya:

No. 568/Pdt.G/PN.Sby, tanggal 27 Februari 1990

Pengadilan Negeri Surabaya:

No. 568/Pdt.G/PN.Sby, tanggal 21 Juli 1990

Pengadilan Tinggi Surabaya:

No. 769/Pdt/PT.Sby, tanggal 1 Oktober 1991

Mahkamah Agung RI:

Reg. No. 1458/Pdt/1992, tanggal 3 Maret 1994

Majelis terdiri dari:

Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH, Ketua Muda MA-RI selaku Ketua Sidang dengan Anggota: Iswo, SH, dan Henoch Tesan Binti, SH.

Labels:

posted by Zainuddin H.Abdulkadir @ Wednesday, December 31, 2008   1 comments
About Me

Name: Zainuddin H.Abdulkadir
Home: Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia
About Me: Nothing ever happened in the past; it happened in the now, nothing will ever happen in the future;it will happen in the now.
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by
ZR AND PARTNER

lbh mabm-kb
-

Blogger TemplatesFree Shoutbox Technology Pioneer Graphic Designer - Company Brand Design
Graphic Designer

 Subscribe in a reader

Subscribe in Bloglines

Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free!

Subscribe in podnova

Powered by Blogger

Life is Such a Wonderful Thing

Sonic Run: Internet Search Engine

Powered by FeedBurner

Blogger Templates

BLOGGER