Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagian pasal-pasal Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dua pasal diantaranya adalah mengenai PHK. Putusan sebagian pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) itu dibacakan majelis hakim konstitusi dalam sidang di Jakarta (28/10). Pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku adalah pasal 158 dan 159 yang mengatur soal pemutusan hubungan kerja (PHK). Pasal 160 ayat (1) dinyatakan tidak mengikat sepanjang mengenai anak kalimat “…bukan atas pengaduan pengusaha…”. Demikian pula pasal 170 dan 171 sepanjang mengenai anak kalimat “…kecuali pasal 158 ayat (1)…”. Pasal 186 juga dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi sepanjang mengenai anak kalimat “…pasal 137 dan pasal 138 ayat (1)…”. Sidang pembacaan putusan itu sendiri diwarnai aksi demo seratusan buruh yang datang dalam dua gelombang. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian UUK, kalangan buruh tetap tidak puas. Mereka meminta agar seluruh UUK dicabut. Dalam pertimbangan hukumnya, pleno hakim konstitusi sepakat dengan pemohon dan menyatakan pasal 158 UUK bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD45. Di mata MK, pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial. Berdasarkan pasal 158 buruh memang bisa terkena PHK hanya karena keputusan pengusaha melalui bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Aturan ini dinilai majelis hakim berbeda dengan ketentuan pasal 160 UUK. Berdasatkan pasal ini buruh yang ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas permintaan pengusaha, diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah. Si buruh masih memperoleh hak-haknya hingga enam bulan berikutnya. Bila tindak pidana tidak terbukti, buruh wajib dipekerjakan kembali. Pasal 159 yang mengatur tentang PHK buruh karena kesalahan berat dinilai majelis tidak adil. Beban pembuktian berdasarkan pasal ini dibebankan kepada buruh, padahal buruh berada pada posisi lemah secara ekonomi. “(Buruh) seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha,” papar majelis dalam petitumnya. Disenting opinion Putusan judicial review UUK yang mengabulkan sebagian permohonan Saeful Tavip Cs diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi. Kedua hakim yang memberikan dissenting opinion adalah Prof. Abdul Mukhtie Fadjar dan Prof. HM Laica Marzuki. Keduanya merujuk pada konsep amandemen UUD45 yang sangat berbasis pada hak asasi manusia. Konstitusi sendiri sudah mengarah pada penghargaan pada hak asasi, tidak demikian halnya dengan UUK. Pembaharuan UUK dinilai kedua hakim konstitusi justru kurang ramah kemanusiaan dan kurang memberi pengayoman (proteksi), khususnya terhadap buruh. Kedua hakim menunjuk pasal-pasal mengenai outsourcing (64-66). Dengan konsep outsourcing, buruh tidak akan tenang bekerja karena sewaktu-waktu dapat terancam PHK. Buruh seperti dijadikan komoditas belaka, sehingga watak protektif-–sebagaimana diamanatkan pasal 27 ayat (2) UUD45-- tidak tercermin dalam UUK. Pasal lain yang ditunjuk kurang ramah kemanusiaan adalah pasal 119, pasal 120 dan 106 karena memperberat syarat merundingkan perjanjian kerja bersama. Menurut keduanya, pasal-pasal tadi adalah kebijakan terselubung guna mengurangi hak buruh untuk memperjuangkan hak-haknya. Pasal tersebut juga mereduksi hakikat kebebasan berserikat sebagaimana dijamin Konstitusi.
Labels: tenaga kerja |
Post a Comment
agar blog ini lebih baik, kasi komentar ya