oleh: Desita Sari, SH/ Cucu Asmawati, SH 08 Nov 2003, 13:27:48 WIB - pemantauperadilan.com Disamping gugatan perdata dengan cara-cara yang telah diatur dan dipraktekkan dalam hukum acara perdata selama ini, kini mulai berkembang mekanisme pengajuan gugatan perdata melalui class action, legal standing dan citizen law suit. Penggunaan mekanisme pengajuan gugatan yang terbilang baru dalam sistem hukum kita tersebut, pada dasarnya mempunyai satu kesamaan antara satu dengan lainnya, yakni adanya hak masyarakat secara luas untuk mengajukan gugatan dalam hal timbulnya kerugian baik yang bersifat individual maupun komunal. Namun, mekanisme ini pada dasarnya hanya merupakan salah satu syarat masuk saja untuk beracara di pengadilan. Sementara keberhasilan dari mekanisme itu sendiri dalam upaya mempertahankan hak atau menuntut ganti kerugian akan sangat bergantung dari keseluruhan proses di pengadilan. POSISI KASUS Pada tahun 1996 terjadi banjir besar yang menimpa Jakarta. Pada saat itu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memperkirakan bahwa banjir besar akan terjadi pada awal tahun 2002. Perkiraan inilah yang kemudian terbukti pada akhir Januari sampai dengan awal Februari 2002. Banjir ini telah mengakibatkan kerugian bagi warga Jakarta. Tidak hanya kerugian materiil dan immateriil, beberapa korban banjir pun harus kehilangan sanak saudaranya akibat terbawa arus banjir yang cukup deras, terkena sengatan arus listrik ataupun terkena serangan penyakit. Besarnya kerugian yang dialami oleh sebagaian besar warga Jakarta akibat banjir tersebut, serta lambatnya penanganan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam mengantisipasi dan menanggulangi banjir tersebut, menjadi latar belakang pengajuan gugatan perwakilan kelas (class action) oleh para korban banjir di Jakarta. Para Penggugat yang terdiri dari 15 orang wakil kelas, yang memberikan kuasa khusus tertanggal 4 Maret 2002 kepada Tim Advokasi Banjir Jakarta, berkantor di Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta mengajukan surat gugatan tertanggal 13 Maret 2002 kepada Kepaniteraan Jakarta Pusat. Para Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (untuk selanjutnya disebut PMH) kepada Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia sebagai Tergugat I, Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Tergugat II serta , Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Rep ublik Indonesia Cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai Turut Tergugat. Dalam gugatannya, Para Penggugat sebagai wakil kelas mendalilkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mengalami kerugian (korban) akibat banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada akhir Januari sampai dengan awal Februari 2002. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan dan keberpihakan para wakil kelas tidak diragukan lagi, sehingga patut dan pantas untuk mewakili masyarakat luas khususnya masyarakat dan warga DKI Jakarta mengajukan gugatan ini. Selain dalil tersebut di atas, untuk menguatkan kedudukannya sebagai pihak yang dapat mengajukan gugatan ini, para Penggugat menunjukkan peraturan perundang-undangan sebagai dasarnya antara lain: UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UUNo. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi serta UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Gugatan dengan No. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST ini merupakan gugatan perbuatan melawan hukum, hal mana disebutkan oleh para wakil kelas bahwa Tergugat I dan II serta Turut Tergugat telah melanggar Pasal 1365 dan Pasal 1366 jo. Pasal 1367 KUHPerdata. Adapun PMH yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan Turut Tergugat meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melanggar ketentuan Pasal 28 (f) Perubahan Kedua UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan meperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada”, dimana Tergugat I dan Tergugat II telah menutup akses bagi masyarakat dan wakil kelas untuk mendapatkan informasi. Tergugat II juga telah melanggar Pasal 43 (e) UU No.22 tahun 1999 tentang Penerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Kepala Daerah mempunyai kewajiban meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat jo. Pasal 9,10,11, dan 12 UU No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Republik Indonesia Jakarta yaitu hal kewenangan pemerintahan dari Tergugat II dan jajarannya dalam memberikan pelayanan masyarakat yang meliputi penyelenggaraan jasa perkotaan, sarana, prasarana dan fasilitas pelayanan masyarakat. (2) Bahwa Tergugat II telah melanggar kewajiban hukumnya sendiri yaitu SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 tentang Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan Bencana di Wilayah DKI Jakarta, khususnya pada bagian lampiran tentang: a. Tujuan: “ ... agar setiap bencana dapat ditanggung secara cepat , berdaya guna dan berhasil guna”. Bahwa karena Tergugat II tidak melaksanakan Protap yang dimaksud maka tujuannya menjadi tidak tercapai, dan banyak korban nyawa dan harta benda tidak dapat diminimalisir. b. Bab III bagian 3.1 Prosedur Kerja Sebelum Bencana, yaitu Tergugat II tidak melaksanakan prosedur 3.1.1. angka (3) yaitu “...menyampaikan informasi kepada masyarakat di daerah rawan bencana dan sekitarnya untuk melaksanakan kesiapsiagaan menghadapi bencana” jo. 3.1.2. angka (6) jo. 3.1.3. angka (6) yaitu : “menyiapkan sarana dan prasarana penanggulangan bencana”. c. Bagian 3.2. prosedur Kerja Saat Bencana yaitu tergugat II tidak melaksanakan prosedur 3.2.1. angka (6), (7), dan (8) yaitu “...menggerakan peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana, ...menyiapkan tempat penampungan bantuan, ...menerima dan menyalurkan bantuan serta mempertanggungjawabkan” jo. 3.2.2. angka (5) dan (6) jo. 3.2.3. angka (4), (5), (8) jo. 3.2.4. angka (2), (5), dan (6) tentang hal yang sama. d. Bagian 3.3. Prosedur Kerja Setelah Bencana, yaitu Tergugat II tidak melaksanakan prosedur 3.3.1. angka (2) dan (3) yaitu “...menyelenggarakan peran serta masyarakat untuk melakukan rehabilitasi,...menyelenggarakan penyukuhan kepada korban bencana” jo. 3.3.2. angka (3) tentang hal yang sama. e. Bagian 3.5. tentang Prosedur Penerimaan Bantuan dan 3.6 Prosedur Penyaluran Bantuan hal mana telah terjadi banyak penyimpangan dalam praktek. (3) Bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat telah melakukan PMH dengan melanggar Prinsip-prinsip Azas Pemerintahan yang Baik (Good Governance). Setiap kebijakan Eksekutif harus bersifat terbuka (open principle) dan transparan, dalam arti masyarakat yang menjadi objek kebijakan tersebut harus mengetahui dan ikut memberikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan dari kebijakan tersebut. (4) Bahwa Tindakan Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat bertentangan dengan prinsip-prinsip kepatutan dan kesopanan yang ada di masyarakat, hal mana Tergugat I dan II secara lalai telah mengabaikan keselamatan warganya dengan tidak melakukan secara maksimal upaya peringatan dini dan melakukan penanggulangan bencana dengan cepat dan tepat sasaran. (5) Bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat melakukan PMH dengan tidak melakukan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan “...Perencanaan Nasional dan Pengendalian Pembangunan Nasional Secara Makro...pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional”. Pada bagian posita gugatan, Para Penggugat juga memasukkan perincian kerugian materiil yang dialami oleh mereka beserta perhitungan ganti rugi atas kerugian immateriil. Selain perincian kerugian yang bersifat individual, Para Penggugat juga memasukkan perhitungan kerugian yang bersifat komunal, yang meliputi ganti rugi atas adanya kerusakan fasilitas publik yang diebabkan oleh banjir. Pemeriksaan perkara gugatan perwakilan kelompok korban banjir di Jakarta berlangsung selama kurang lebih sembilan bulan, hingga akhirnya pada tanggal 21 Nopember 2002 pemeriksaan sidang ditutup dengan pembacaan putusan oleh majelis hakim. Dalam putusannya setebal 164 halaman majelis hakim akhirnya memutuskan hal-hal sebagai berikut: menolak eksepsi pihak Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat untuk seluruhnya; menolak gugatan proovisi untuk seluruhnya; menolak gugatan pihak Para Penggugat seluruhnya. ANALISA Analisa ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Adapun yang akan menjadi pokok bahasan dalam analisa ini meliputi: 1. Hal yang berkaitan dengan eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat yang belum diputuskan dalam Putusan Sela; 2. Hal yang berkaitan dengan pembuktian adanya PMH. Hal yang berkaitan dengan eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat 1. Eksepsi bahwa gugatan Para Penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action) Menurut Tergugat I gugatan class action telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No.1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam bagian “Menimbang” huruf e, PERMA tersebut menyebutkan: “Bahwa telah ada berbagai undang-undang yang mengatur dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok dan gugatan yang mempergunakan dasar gugatan perwakilan kelompok, seperti Undang-undang Nomor23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi belum ada ketentuan yang mengatur acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan yang diajukan”. Berdasarkan hal tersebut, Tergugat I menyatakan bahwa gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok hanya dapat diajukan dalam hal Undang-undang yang berlaku memperkenankan diajukannya gugatan semacam itu. Dalam praktek peradilan di Indonesia, mekanisme gugatan perwakilan kelompok adalah suatu hal yang baru berkembang dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini pun hanya beberapa saja yang secara tegas mengatur mengenai mekanisme ini, antara lain UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi serta UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Seiring meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action) tidak hanya dilakukan terhadap perkara-perkara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada saja, tetapi juga berkembang dalam perkara lain, seperti salah satu contohnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No. 50/Pdt.G/2000/PN .JKT.PST yaitu keterwakilan 139 tukang becak atas 5000 tukang becak lainnya di Jakarta yang menggugat Gubernur DKI Jakarta atas kebijakan penghapusan becak di Jakarta. Dalam mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action), pada dasarnya ada dua syarat utama yang harus dipenuhi yakni: pertama, adanya sejumlah besar orang; dan kedua, adanya kepentingan atau permasalahan yang sama. Kedua hal ini tercermin pula di dalam Pasal 2 PERMA No. 1 tahun 2002 dimana disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok apabila (a) jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; (b) terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya, (c) wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya. Syarat-syarat tersebut telah terpenuhi dalam gugatan ini dimana Para Penggugat terdiri dari wakil kelompok (kelas) dan anggota kelompok (kelas) yang terdiri dari banyak orang yang menuntut kerugian atas peristiwa banjir yang terjadi pada sekitar bulan Januari hingga Februari 2002 di Jakarta. Dalam hal ini, telah ada demikian banyak orang dengan kesamaan fakta dan dasar hukum untuk selanjutnya mengajukan tuntutan yang sama. Eksepsi Tergugat I yang menyatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok (class action ) hanya dapat diperkenankan berdasarkan undang-undang tertentu saja, menurut pendapat kami tidak tepat. Bagian “Menimbang” huruf e PERMA NO. 1 tahun 2002 dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa ada peraturan perundangan-undangan yang memperkenankan mekanisme gugatan perwakilan kelompok, namun hukum acaranya masih belum diatur, sehingga akhirnya MA mengeluarkan PERMA tersebut sampai adanya ketentuan perundang-undangan untuk itu. Berdasarkan dasar-dasar tersebut, putusan hakim yang menyatakan bahwa eksepsi ini tidak mempunyai dasar hukum serta patut untuk ditolak adalah tepat. 2. Eksepsi bahwa surat kuasa cacat yuridis Pasal 123 HIR mengatur adanya kemungkinan bagi para pihak untuk dibantu atau diwakili oleh kuasanya, hal mana pemberian kuasa tersebut dituangkan dalam surat kuasa khusus. Pasal ini tidak menyebutkan secara tegas bagaimana bentuk surat kuasa khusus yang dimaksud di sini, sehingga dalam praktek bentuk/format surat kuasa khusus ini sangatlah beragam. Dalam surat kuasa Para Penggugat tertanggal 4 Maret 2003, pada bagian identitas pemberi kuasa hanya disebutkan Nuraeni, dkk, sementara 14 wakil kelas lain yang memberikan kuasa tidak secara langsung disebutkan pada bagian identitas pemberi kuasa, melainkan dilampirkan pada bagian lampiran di halaman 2. Hal ini menurut pendapat kami tidak berarti bahwa surat kuasa tersebut tidak sah, karena seperti telah disebutkan bahwa tidak ada bentuk/format baku dari suatu surat kuasa khusus. Sementara surat kuasa Para Penggugat menurut pendapat kami telah memenuhi ketentuan standar yang harus dimiliki oleh sebuah surat kuasa, yakni identitas pemberi dan penerima kuasa serta hal-hal apa saja yang dikuasakan. Dalam kaitannya dengan ketentuan bea materai berdasarkan UU No. 13 tahun 1985, surat kuasa Para Penggugat pun telah memenuhi ketentuan tersebut, hal mana pada surat kuasa telah dilekatkan bea materai yang dimaksud. Memperhatikan eksepsi Tergugat II yang menyatakan bahwa seharusnya surat kuasa tersebut dibuat dalam 15 surat kuasa dari pemberi kuasa dengan bea materai untuk masing-masing surat kuasa, agaknya terlalu berlebihan. Hal ini disadari pula oleh majelis hakim yang menyatakan bahwa surat kuasa Para Penggugat telah sesuai dengan ketentutan yang ada. Hakim berpendapat bahwa lampiran surat kuasa tertanggal 4 Maret 2002 adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaran pertama yang memuat nama pemberi kuasa Nuraeni, dkk (terlampir) dan karenanya hal tersebut tidak mengurangi nilai kedudukan para pemberi kuasa. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, putusan hakim yang menyatakan bahwa surat kuasa Para Penggugat tidak cacat yuridis dan menolak eksepsi Tergugat II sudah tepat. 3. Eksepsi bahwa istilah wakil kelas untuk menggantikan sebutan Penggugat Menurut Tergugat, Peraturan Perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia hanya mengatur istilah “PENGGUGAT” dan “TERGUGAT” sebagai pihak berperkara dalam suatu yurisdiksi kontentiosa di pengadilan (vide Pasal 118 HIR/RIB) dan sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formal (hukum acara) yang mengenal istilah “PENGGUGAT”. Oleh karena itu, gugatan perwakilan yang diajukan oleh bukan “PENGGUGAT” melainkan hanya menyebutkan “WAKIL KELAS” saja menyebabkan tidak jelasnya siapa “PENGGUGAT” dalam perkara a-quo dan pelanggaran atas formalitas beracara sehingga gugatan perwakilan a-quo harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam suatu gugatan perdata, pihak yang mengajukan gugatan disebut dengan Penggugat, sedangkan pihak yang digugat disebut sebagai Tergugat. Sementara itu, dalam gugatan perwakilan kelompok, yang bertindak sebagai penggugat adalah wakil kelas/kelompok. Berdasarkan hal tersebut, menurut pendapat kami, penyebutan istilah wakil kelas bukanlah bermaksud untuk menggantikan istilah Penggugat, melainkan untuk lebih memperjelas bahwa dalam gugatan perwakilan kelompok, penggugatnya adalah para wakil kelas. Hal ini pada dasarnya telah dicantumkan oleh Penggugat dalam bagian persona standi gugatan yang menyebutkan bahwa 15 orang wakil kelas selanjutnya akan disebut sebagai Pihak Penggugat atau Para Wakil Kelas. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa tidak ada kerancuan mengenai siapakah pihak yang mengajukan gugatan apakah wakil kelas atau penggugat sebagaimana disebutkan dalam eksepsi Tergugat II. Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa istilah para wakil kelas bukan dimaksudkan untuk menggantikan penyebutan Penggugat melainkan hal tersebut sama dan sejiwa dengan penyebutan Para Penggugat. Berdasarkan hal tersebut, hakim menyatakan bahwa eksepsi tergugat II mengenai istilah wakil kelas yang menggantikan istilah penggugat adalah tidak berdasar sehingga patut untuk ditolak. 4. Eksepsi bahwa gugatan Para Penggugat salah alamat (error in subjecto) Pihak Turut Tergugat menyatakan dalam eksepsinya bahwa Gubernur Kepala Daerah tidak merupakan suatu Badan Hukum, melainkan suatu Jabatan/Pejabat Negara sehingga yang harus digugat adalah Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Dalam gugatan yang diajukan Para Penggugat, yang menjadi objek gugatan salah satunya adalah tindakan aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang berada dalam kekuasaan dan pengawasan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat. Tindakan yang dimaksud di sini adalah tindakan aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang membiarkan pembangunan vila-vila di kawasan Puncak yang berakibat pada kurangnya daerah resapan air yang berguna untuk menahan air yang turun saat musim penghujan tiba. Keadaan inilah yang diyakini oleh Para Penggugat menjadi salah satu penyebab banjir yang terjadi di Jakarta, hingga kemudian menyertakan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat sebagai pihak Turut Tergugat dalam gugatannya. Dalam praktek Hukum Acara Perdata, pihak yang digugat dapat berupa pribadi kodrati ataupun pribadi hukum, seperti badan hukum. Jika yang digugat adalah badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), maka yang harus bertindak untuk adan atas nama PT tersebut adalah Direktur PT tersebut. Sementara itu, dalam hal yang digugat adalah negara, maka yang digugat adalah Pemerintah Republik Indonesia, mewakili Negara Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Presiden Republik Indonesia, sebagai alat negara yang memimpin jalannya pemerintahan. Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah, maka tugas Presiden di daerah telah dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah dengan Kepala Daerah Tingkat I sebagai pimpinan pemerintahan di daerah propinsi. Berdasarkan hal tersebut, menurut Kami adalah tepat Para Penggugat mengajukan gugatan kepada Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat. Penunjukkan Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dimaksudkan untuk mewakili pemerintah daerah, yang mana ia bertindak untuk dan atas nama pemerintah daerah. Hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan adalah bahwa yang diberi kuasa dan juga tergugat atau para tergugat adalah harus benar-benar orang yang dapat mewakili pihak yang bersangkutan. Para Penggugat sendiri telah memperhatikan prinsip ini. Dalam salah satu pertimbangnya hakim juga telah menyebutkan bahwa berdasarkan pendapat umum dan juga pendapat para pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, pejabat yang bersangkutan dengan sendirinya dengan hukum (van rechtswege) mewakili negara dan pemerintah daerah yang bersangkutan. Dalam hal kemudian mereka dihukum untuk membayar ganti rugi, maka karena hukum pula negara atau pemerintah daerah yang diwakilinyalah yang harus membayarnya. Berdasarkan hal ini, kami berpendapat adalah tepat putusan hakim yang menolak eksepsi ini karena dinilai tidak berdasar. 5. Eksepsi bahwa posita gugatan obscur libel Hakim dalam putusannya menolak eksepsi yang diajukan oleh Turut Tergugat yang menyatakan bahwa posita gugatan obscur libel. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa posita gugatan Para Penggugat telah jelas dan nyata menguraikan peristiwa-peristiwa yang terjadi, akibat dari peristiwa tesebut dan perbuatan hukum apa saja yang dilakukan Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat. Kami sependapat dengan putusan hakim tersebut. Dalam gugatannya Para Penggugat telah dengan jelas dan nyata menjelaskan peristiwa yang terjadi. Para Pengugat telah menjabarkan kronologis peristiwa yang terjadi, tidak hanya secara umum melainkan juga menjelaskan secara khusus kronologis peristiwa yang menimpa para wakil kelas. Para Penggugat pun telah menunjukan adanya PMH yang dilakukan Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang telah dijabarkan sebelumnya. Lebih jauh, Para Penggugat telah mencantumkan pula besarnya kerugian yang telah dialami para wakil kelas beserta kerugian secara komunal . Hal yang patut dicermati sebenarnya bahwa alasan yang dijadikan dalil atas eksepsi ini pada dasarnya telah diuraikan satu persatu dalam pokok-pokok eksepsi lainnya. Eksepsi bahwa posita gugatan obscur libel ini layaknya rangkuman dari sebagian besar eksepsi para tergugat lainnya. Dalil Para Penggugat yang menyebutkan bahwa Gubernur Jawa Barat dalam gugatan in casu ditempatkan sebagai Turut Tergugat, namun dalam petitum gugatan Gubernur Jawa Barat dituntut seperti layaknya pihak yang bersatus Tergugat, pada dasarnya sama dengan eksepsi yang menyatakan bahwa materi gugatan bertentangan satu sama lain. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa ada pihak lain yang harus digugat seperti para pemilik vila di kawasan Puncak, pemilik bangunan tanpa IMB di bantaran sungai dan masyarakat yang membuang sampah sembarangan telah disebutkan pula dalam eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan kurang subjek. 6. Eksepsi bahwa ada obcsur libel pihak Tergugat Tergugat II dalam eksepsinya menyebutkan bahwa ternyata yang digugat pada dasarnya satu instansi yakni Negara Republik Indonesia yang sebagai badan hukum publik tertinggi diwakili oleh Presiden Republik Indonesia. Sedangkan dalam gugatannya Para Penggugat menggugat pula Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq.Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, hal mana terdapat perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam gugatannya, Para Penggugat menggugat Presiden Republik Indonesia Cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat dalam kaitannya dengan kewenangan mereka masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengendalian dan penanggulangan banjir, yang karenanya kepada mereka dimintai pertanggungjawaban masing-masing pula. Hakim, dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dimana pemerintahan terdiri dari pemerintah pusat yang dipimpin Presiden dan pemerintah daerah propinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dikatakan mempunyai hak dan wewenang masing-masing. Atas dasar tersebut, hakim memutuskan untuk menolak eksepsi Tergugat II. Kami sependapat dengan hakim yang menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah (baik daerah propinsi, kabupaten maupun kota) mempunyai hak dan wewenang masing-masing, sehingga mereka dapat digugat sehubungan dengan adanya penyimpangan pelaksanaan hak dan wewewangnya tersebut. Hal ini kami dasarkan pada ketentuan Pasal 44 UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seorang Kepala Daerah dalam menjalankan tugas kepemimpinannya mempunyai kewajiban yang salah satunya adalah menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. Maka jika kemudian ia tidak melaksanakan kewajibannya ini, sudah sewajarnya ia kemudian dimintai pertanggungjawabannya (digugat) dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pemerintahan di daerah. Selanjutnya, Pasal 47 UU NO.22/1999 telah menyatakan bahwa Kepala Daerah mewakili daerahnya baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa sebagai wakilnya. 7. Eksepsi bahwa gugatan penggugat kurang subjek Turut Tergugat berpendapat, jika Para Penggugat telah menyadari adanya peranan para pemilik vila di kawasan Puncak, pemilik bangunan tanpa IMB di bantaran sungai dan masyarakat yang membuang sampah sembarangan sebagai pihak-pihak yang turut menyebabkan terjadinya banjir, seharusnya mereka menggugat pula pihak-pihak tersebut. Menurut pendapat kami, hal tersebut harus dikaitkan dengan materi gugatan itu sendiri. Pada dasarnya para pengugat menggugat Turut Tergugat mengenai tidak adanya program terpadu dalam menanggulangi masalah banjir dan tidak dapat menghentikan pendirian vila-vila di kawasan Puncak, dimana hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk melaksanakannya. Kebijakan pendirian vila atau bangunan adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Jika kemudian ada hal-hal yang menyimpang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah pula. Jika pemerintah daerah memang telah memuat kebijakan yang turut memperhatikan adanya program pengendalian banjir, namun kemudian melihat adanya penyimpangan dalam hal tersebut seperti pembuatan vila-vila di puncak, pendirian bangunan tanpa IMB, dan pembuangan sampah oleh masyarakat yang sembarangan, seharusnya mereka sebagai pihak yang berwenang dapat menindak dan memberi sanksi pada para pelakunya. Berdasarkan hal tersebut, kami berpendapat alasan eksepsi yang menyatakan gugatan kurang subjek tidaklah berdasar, hal mana disadari pula oleh hakim sehingga memutuskan untuk menolak eksepsi ini. 8. Eksepsi bahwa materi gugatan bertentangan satu sama lain Dalam salah satu eksepsinya, Turut Tergugat menyatakan bahwa pada bagian persona standi, Gubernur Jawa Barat ditempatkan sebagai pihak Turut Tergugat, namun di bagian petitum dimohonkan agar perbuatan Turut Tergugat dinyatakan sebagai PMH dan dituntut pula agar dihukum membayar ganti rugi secara tanggung renteng. Menurut Turut Tergugat, berdasarkan praktek hukum acara proses peradilan yang sudah lazim, pada prinsipnya kewajiban Turut Tergugat hanya untuk tunduk dan patuh pada putusan pengadilan, lebih daripada itu tidak ada. Tuntutan para Penggugat agar Pengadilan menyatakan Turut Tergugat melakukan PMH dan membayar ganti rugi adalah bertentangan dengan kewajiban Turut Tergugat. Dalam praktek, istilah Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun hanya untuk lengkapnya gugatan harus diikutsertakan. Kami berpendapat, Penggugat telah melakukan kekeliruan dalam hal ini. Jika kemudian dalam petitum gugatan, ia memohonkan hal yang sama kepada hakim untuk menghukum baik Tergugat I, Tergugat II maupun Turut Tergugat, lalu apa urgensinya pembedaan istilah antara Tergugat dan Turut Tergugat. Jika dalam petitum dimintakan adanya pernyataan bahwa Turut Tergugat melakukan PMH dan karenanya harus membayar ganti rugi secara tanggung renteng dengan Tergugat lain, maka Para Penggugat harus membuktikan adanya PMH yang dilakukan oleh Turut Tergugat. Hal ini tidak membedakan kedudukan Tergugat dan Turut Tergugat jika dikaitkan dengan kewajiban untuk membuktikan adanya PMH. Hakim sendiri tidak membahas adanya pembedaan antara Tergugat dan Turut Tergugat, melainkan hanya menyatakan bahwa mengenai perbuatan hukum Turut Tergugat telah masuk kepada materi perkara yang memerlukan proses pembuktian. Selanjutnya, dalam hal petitum akan dikabulkan atau tidak akan berpedoman pada proses pembuktian dan p eraturan perundang-undangan yang ada. Dari sini nampak bahwa hakim tidak mempermasalahkan apakah istilah Tergugat atau Turut Tergugat tepat atau tidak, melainkan melihat saja apakah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Tergugat atau pun Turut Tergugat merupakan PMH atau tidak. Jika kemudian ternyata terbukti adanya PMH yang dilakukan oleh Turut Tergugat, maka tidaklah salah jika kemudian ia dihukum untuk membayar ganti kerugian secara tanggung renteng beserta Tergugat lainnya. Namun, hal ini dapat dilakukan dengan catatan, bahwa dalam petitum Penggugat memang memohon agar Turut Tergugat ikut dihukum untuk membayar ganti kerugian. Ketentuan ini didasarkan pada azas hukum acara perdata yang menyatakan bahwa dalam memeriksa perkara perdata hakim bersikap pasif. Maksud dari sikap pasif hakim perdata ini adalah bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hal yang berkaitan dengan pembuktian adanya PMH Gugatan ini didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.” Untuk dapat dikatakan sebagai PMH berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, sutau perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya perbuatan melawan hukum; 2. Adanya unsur kesalahan; 3. Adanya kerugian; 4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang. 1. Adanya unsur melawan hukum Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsur berikut : a. Bertentangan dengan hak orang lain, b. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; c. Bertentangan dengan kesusilan; d. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melwan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri. Perbuatan Tergugat I yang melawan hukum, menurut Para Penggugat adalah perbuatannya yang bertentangan dengan Pasal 28 F Perubahan Kedua UUD 1945 yang menerangkan adanya hak setiap orang untuk mendapatkan informasi, hal mana tidak dipenuhi akses untuk mendapatkan hal tersebut oleh Tergugat I. Hal tersebut, menurut pendapat kami telah dibantah sendiri oleh Para Penggugat yang menyatakan bahwa pihak Tergugat I pada banjir besar terakhir yang terjadi tahun 1996, melalui Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) telah memperkiraan banjir besar akan terjadi kembali pada awal tahun 2002. Sementara itu, Para Penggugat menyebutkan pula bahwa Menkim Praswil telah memberitahukan curah hujan yang tinggi diperkirakan akan terjadi hingga Maret 2002 dan menghimbau masyarakat untuk berhati-hati. Kedua hal tersebut pada dasarnya telah menunjukkan bahwa tidak ada unsur melawan hukum dalam perbuatan Tergugat I. Hal tersebut diyakini pula oleh hakim yang selain mendalilkan pada alasan tersebut di atas, mendalilkan pula pada telah dikeluarkannya berbagai peraturan oleh Tergugat I untuk mengatasi dan menanggulangi bencana antara lain: Keppres No.11 tahun 1972 tentang Pembentukan Badan SAR Indonesia, Keppres No. 43 tahun 1990 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan SK Menko Kesra selaku Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana No. 17/Kep/Menko/Kesra/X/1995 tentang Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. Dalam pelaksanaannya, Tergugat I memberi bimbingan teknis, bantuan peralatan dan dana. Sedangkan pelaksanaan di lapangan berada di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Dalam kaitannya dengan perbuatan Tergugat II, unsur melawan hukum yang utama ditujukan pada perbuatan tidak melakukan peringatan dini dan respon yang cepat dalam hal terjadinya bencana. Dalam kaitannya dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum, perbuatan Tergugat II dianggap telah melanggar kewajibannya sendiri. Tergugat II sebenarnya telah membuat peraturan yang memberikan pedoman dalam penanggulangan bencana antara lain: Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 363 tahun 1996 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta dan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kotamadya DKI Jakarta, Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 625 tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 195 tahun 1998 tentang Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta, SK Gubernur DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 tentang Prosedur Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta, serta SK Gubernur DKI Jakarta No. 1882 tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Penanggulangan Bencana Secara Terpadu di DKI Jakarta. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, penanggulangan bencana di DKI Jakarta pada pokoknya meliputi penanggulangan bencana sebelum terjadinya bencana, pada saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kotamadya yang meliputi hal-hal sebagi berikut: Sebelum terjadinya bencana 1. Membuat peta rawan bencana; 2. Menyiapkan potensi masyarakat/linmas untuk penanggulangan bencana; 3. Melaksanakan penyuluhan penaggulangan bencana; 4. Menetapkan daerah alternatif pengungsian korban bencana; 5. Memberikan peringatan dini kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana; 6. Menyusun program penaggulangan bencana antara lain pendidikan dan pelatihan geladi posko dan geladi tampungan penanggulangan; 7. Menetapkan anggaran penanggulangan bencana dalam APBD. Pada saat bencana 1. Mengungsikan korban bencana; 2. Mencari dan menyelamatkan korban dari akibat bencana; 3. Memberikan pertolongan pertama pada korban bencana dan menyiapkan dapur umum; 4. Menyiapkan tempat penampungan sementara; 5. Mengamankan daerah bencana; 6. Menerima, mengelola dan menyalurkan bantuan; 7. Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan Penanggulangan Bencana. Sesudah terjadi bencana 1. Menginventarisasi jumlah korban dan memperkirakan jumlah kerugian; 2. Memakamkan korban bencana yang meninggal dunia; 3. Merehabilitasi moril dan fasilitas sosial serta fasilitas umum yang terkena bencana; 4. Menempatkan korban bencana ke pemukiman di daerah yang aman atau ke lokasi semula. Saksi-saksi korban yang ada, pada dasarnya menyatakan bahwa sebelum bencana banjir pada Januari¬Februari 2002, tidak ada pemberitahuan dari Tergugat II akan hal tersebut maupun penyuluhan penanggulangan menghadapi banjir. Tergugat II juga tidak menginformasikan adanya tempat penampungan/pengungsian, sehingga saat terjadinya bencana dimana air masuk ke dalam rumah saksi dan masyarakat dengan ketinggian 1¬2 meter, mereka menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman dan membentuk posko dengan swadaya masyarakat. Akibat bencana tersebut pula, para saksi dan masyarakat korban banjir mengalami penderitaan korban jiwa dan kerugian harta benda. Lebih jauh, saksi-saksi ahli yang terdiri dari Eko Teguh Paripurno, Ir. Rio Tambunan dan Hamento Kusuma Widjaja menyatakan bahwa banjir yang terjadi di Jakarta pada Januari¬Februari 2002 adalah akibat perbuatan alam dan ulah manusia. Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah yang mengakibatkan lahan resapan air beralih fungsi menjadi fasilitas umum yang bersifat bisnis menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, penderitaan korban jiwa dan harta benda yang dialami masyarakat korban banjir disebabkan pula oleh sarana dan prasarana yang tidak memadai dan karena aparatur tidak bekerja dengan optimal. Instruksi Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 272 tahun 2001 tanggal 31 Nopember 2001 tentang Antisipasi Perkembangan Situasi Musim Hujan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, ternyata baru ditindaklanjuti pada tanggal 30 Januari 2002 dengan Surat Tugas No.10/WKq-Pem/I/2002 (bukti P-7), sedangkan banjir di wilayah Propinsi DKI Jakarta telah terjadi sejak tanggal 23 Januari 2002. Tidak adanya peringatan dini dan penyiapan potensi masyarakat untuk menanggulangi banjir pun terlihat dari adanya Laporan Penanggulangan Banjir di Kotamadya Jakarta Barat dan Surat Lurah Ancol ke seluruh RT/RW di wilayahnya tertanggal 14 Desember 2001, hal mana dibuat jauh sebelum bencana banjir dan tidak ada tindak lanjut bagi masyarakat di wilayah rawan banjir. Berdasarkan hal-hal tersebut, hakim berpendapat telah terjadi perbuatan yang memenuhi salah satu unsur melawan hukum yakni perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku atas peraturan normatif penanggulangan bencana sebelum terjadi. Namun, disini majelis hakim mempertimbangkan lagi apakah perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan Tergugat II. Hal mana akan kami analisa lebih lanjut pada bagian adanya kesalahan. Para Penggugat menyebutkan dalam gugatannya bahwa Turut Tergugat telah melakukan PMH dalam hal perbuatannya bertentangan dengan prinsip kesopanan dan kepatutan yang ada di masyarakat. Turut Tergugat juga dianggap melakukan PMH dengan tidak melakukan ketentuan Pasal 7 (2) UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan “Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional”. Hal yang patut dicermati di sini adalah dasar yang digunakan Para Penggugat untuk menyatakan bahwa Turut Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni tidak melakukan ketentuan Pasal 7 (2) UU No. 22 tahun 1999. Pasal ini adalah pasal yang mengatur kewenangan lain yang bukan merupakan kewenangan daerah, melainkan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sehingga menurut kami Para Penggugat kurang cermat dalam membuat surat gugatan. Jika dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh Para Penggugat akibat banjir, maka PMH yang ditujukan kepada Turut Tergugat adalah dalam kaitannya dengan pembanguan vila-vila di kawasan Puncak yang tidak terkendali. Padahal, kawasan tersebut merupakan kawasan resapan air dan tanah yang berfungsi melindungi kawasan bawahannya yakni Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. PMH yang dilakukan oleh Turut Tergugat, dalam hal ini lebih tepat jika dihubungkan dengan Keppres No. 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Dalam pertimbangannya mengenai PMH yang dilakukan Turut Tergugat, hakim menyatakan bahwa gugatan didasarkan pada adanya kerugian harta benda dan jiwa dari Para Penggugat akibat banjir dan bukan karena terjadinya banjir, sehingga adanya vila-vila di wilayah hukum pihak Turut Tergugat belum tentu atas kebijakan pihak Turut Tergugat dan juga tidak mempunyai hubungan hukum dengan penderitaan dan kerugian harta benda Para Pengugat. Hakim juga berpendapat bahwa tidak ada aturan normatif mengenai kewenangan dan tanggung jawab pihak Turut Tergugat menyangkut penanggulangan bencana banjir di wilayah DKI Jakarta. Hal ini menjadi dasar bagi hakim untuk menyatakan bahwa perbuatan Turut Tergugat tidak memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum. Kami berpendapat, dasar yang dikemukan oleh hakim kurang tepat dan komprehensif dengan pertimbangan hukum lain yang dikemukannya. Pada bagian pembuktian unsur PMH Tergugat I, hakim mempertimbangankan adanya PP No. 47 tahun 1997 tentang Tata Ruang Nasional yang Terkait dengan Pengelolaan Kawasan Jabodetabek serta Keppres No. 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur, ketentuan-ketentuan mana menunjukkan adanya program terpadu menanggulangi bencana. Ketentuan-ketentuan ini (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya), pada dasarnya merupakan ketentuan yang secara khusus mengatur kewenangan Turut Tergugat dalam mengeluarkan kebijakan di wilayahnya, termasuk kebijakan pembangunan vila-vila di kawasan Puncak, yang seharusnya menjadi daerah konservasi air dan tanah untuk menghindari terjadinya banjir di kawasan Jabotadebek. Hakim juga kurang memperhatikan dan mempertimbangkan secara lebih jauh UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terutama Pasal 9 (1) yang menyebutkan bahwa kewenangan daerah propinsi sebagai daerah otonom salah satunya adalah kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang antara lain adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pengendalian lingkungan hidup serta perencanaan tata ruang propinsi (vide Penjelasan Pasal 9 (1) UU No.22 tahun 1999). Berdasarkan hal-hal tersebut, jika kemudian terjadi banjir yang diakibatkan pembangunan vila-vila di kawasan Puncak yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, hal mana menjadi tanggung jawab Turut Tergugat. Dengan demikian menurut kami, hal tersebut menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum dari Turut Tergugat yang tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Sementara itu, pertimbangan apakah ada suatu hubungan hukum antara pembangunan vila-vila di kawasan Puncak dengan penderitaan dan kerugian yang dialami Para Pengugat selanjutnya akan kami bahas pada bagian unsur hubungan kausal. 2. Adanya unsur kesalahan Persyaratan adanya unsur kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata pada dasarnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk menekankan bahwa si pelaku PMH hanyalah bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan, bila dari kerugian tersebut dapat dipersalahkan kepadanya. Syarat ini harus diartikan sebagai syarat dalam arti subjektif, hal mana akan dilihat apakah suatu PMH dapat dipersalahkan kepada pelaku. Dalam perkara ini, perbuatan Tergugat I tidak terbukti memenuhi unsur melawan hukum, sehingga tidak perlu pembuktian adanya unsur kesalahan yang harus dikaitkan dengan perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum. Seperti telah dijelaskan dalam point 1 mengenai unsur melawan hukum, dalam hal penanggulangan bencana sebelum banjir di DKI Jakarta ternyata ada suatu perbuatan melawan hukum. Namun, hakim berpendapat bahwa PMH yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepada Tergugat II, melainkan kepada Walikota masing-masing Pemerintah Daerah Kota. Pendapat ini didasarkan pada Pasal 3, 4 dan 5 Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 195 tahun 1998 yang mengatur bahwa pihak Tergugat II adalah Ketua Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan koordinasi dan pengendalian kegiatan penanggulangan bencana berupa memberi petunjuk, pengarahan, pembinaan, perencanaan dan penyaluran bantuan dan lain sebagainya. Tugas dan fungsi sebagaimana disebutkan dalam ketentuan tersebut, ternyata telah ditindaklanjuti oleh pihak Tergugat II dengan mengeluarkan berbagai kebijakan seperti membuat anggaran penanggulangan bencana dalam APBD, meminta bantuan Pemerintah Pusat dan mengeluarkan Keputusan No. 222 tahun 1998 tentang Prosedur Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, SK No. 1822 tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Penaggulangan Bencana Secara Terpadu di DKI Jakarta, Instruksi No. 272 tahun 2001 tentang Antisipasi Perkembangan Situasi Musim Hujan di Propinsi DKI Jakarta, Instruksi No. 16 tahun 2002 tentang Pembentukan Posko-posko dalam Rangka Penanggulangan Dampak Banjir, Surat Tugas No. 10/WKq-Pem/I/2002 serta melakukan rapat kordinasi, melakukan kunjungan ke wilayah-wilayah Kotamadya dalam rangka pengecekan secara langsung kesiapan personil, sarana dan prasarana. Melihat pada pertimbangan ini, tampaknya majelis hakim tidak cukup konsisten dalam memberikan dasar pertimbangan. Menurut majelis hakim, salah satu alasan terbuktinya unsur melawan hukum tercermin dari tidak dilaksanakannya Instruksi No. 272 tahun 2001 tentang Antisipasi Perkembangan Situasi Musim Hujan di Propinsi DKI Jakarta oleh Tergugat II. Instruksi tersebut baru ditindaklanjuti oleh Tergugat II melalui Surat Tugas No. 10/WKq-Pem/I/2002 tertanggal 30 Januari 2002, sedangkan banjir di Jakarta telah terjadi sejak 23 Januari 2002. Namun disisi lain majelis hakim juga mengatakan bahwa peraturan tersebut sebagai bentuk implementasi tugas dan fungsi yang menunjukkan bahwa Tergugat II telah melaksanakan kewajiban hukumnya. Pemakaian dalil ini sebagai pertimbangan untuk menunjukkan tidak adanya kesalahan bagi Tergugat II sebenarnya malah menunjukkan bahwa perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah perbuatan Tergugat II. Dalam pertimbangan selanjutnya, hakim mendalilkan bahwa Pasal 14, 15, dan 16 Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 mengatur Walikota sebagai Ketua Satuan Penanggulangan Bencana yang mempunyai tugas dan fungsi untuk kegiatan pelaksanaan upaya penanggulangan bencana secara langsung di wilayahnya, mengupayakan pencegah terjadinya bencana melalui kewaspadaan masyarakat dengan kegiatan penyuluhan, pelatihan, gladi dan pembinaan, serta penerimaan, penyaluran dan pertanggungjawaban bantuan penanggulangan bencana. Namun, dalil ini kemudian dimentahkan lagi dengan pertimbangan yang menyatakan bahwa lampiran Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 pada halaman 13 menyebutkan Walikota sebagai Ketua Satuan Pelaksanaan Penanggulangan Bencana merupakan pelaksana operasional di daerahnya dan bertanggung jawab kepada pihak Tergugat II. Pernyataan bahwa Walikota bertanggung jawab kepada Tergugat II sebenarnya menunjukkan bahwa tanggung jawab dalam pelaksanaan penanggulangan bencana di DKI Jakarta ada pada Tergugat II, yang berarti menunjukkan pula adanya kesalahan dari Tergugat II. Kami berpendapat bahwa sebenarnya pendapat hakim yang menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam perkara ini bukanlah tanggung jawab atau kesalahan dari Tergugat II, melainkan kesalahan Walikota masing-masing Pemerintah Kota kurang tepat. Berdasarkan Pasal 43 UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewajiban Kepala Daerah adalah menegakkan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan-peraturan yang menjadi kebijakannya. Artinya, Gubernur Kepala Daerah tidak hanya cukup mengeluarkan kebijakan saja melainkan terikat untuk tunduk pada kebijakannya tersebut. Lebih jauh, berdasarkan Penjelasan Pasal 9 (1) UU No. 22 tahun 1999, maka kewenangan pemerintah daerah propinsi meliputi pula kewenangan untuk merencanakan dan mengendalikan pembangunan regional secara makro, pengendalian lingkungan hidup dan perencanaan tata ruang. Di lain pihak, PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah menyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah tertentu diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 4 UU No.22 tahun 1999 menyatakan bahwa : (1) Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten, daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. (2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud dalam (1) masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain. Pasal 127 UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa: Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini, seluruh instruksi, petunjuk, atau pedoman yang ada atau yang diadakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kami melihat bahwa peraturan yang dijadikan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan untuk menunjukkan pertanggungjawaban PMH yang dimaksud oleh Para Penggugat, yakni Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 195 tahun 1998 tentang Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta serta SK Gubernur DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 tentang Prosedur Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta kurang lengkap. Kedua peraturan tersebut seharusnya dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 4 (1) dan (2) jo. Pasal 127 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan hierarkhi antara satu sama lain antara pemerintah propinsi, pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Ketiganya mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Dalam kaitannya dengan PMH yang dilakukan Turut Tergugat, unsur kesalahan terletak dalam kedudukannya sebagai Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat yang tidak melakukan penertiban dan membiarkan pembangunan vila-vila di kawasan Puncak. Hal ini mengakibatkan fungsi kawasan Puncak sebagai daerah konservasi air dan tanah menjadi terabaikan. Daerah konservasi air dan tanah ini sendiri, berdasarkan Keppres No. 144 tahun 1999 adalah daerah yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya yakni Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak adanya penertiban dan pengendalian pembangunan vila-vila di kawasan Puncak menjadi sebab terjadinya banjir di DKI Jakarta. Sebagai pemimpin daerah propinsi, dengan berdasarkan pada Pasal 9 (1) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo. PP No. 47 tahun 1997 tentang Tata Ruang Nasional yang Terkait dengan Pengelolaan Kawasan Jabodetabek serta Keppres No. 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur, Turut Tergugat seharusnya dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mencegah pembangunan kawasan Puncak yang terlalu berlebihan. Di samping Turut Tergugat, dengan memperhatikan ketentuan UU No. 22 tahun 1999 dan Pasal 19 (1) Keppres No. 114 tahun 1999 kami berpendapat bahwa pengendalian pembangunan vila-vila di kawasan Puncak merupakan tanggung jawab Walikota dan Bupati kawasan Bopunjur sebagai pemimpin pemerintah daerah kota dan kabupaten. 3. Adanya kerugian Kerugian dalam Pasal 1365 KUHPerdata harus dikaitkan dengan PMH yang dilakukan. Artinya, kerugian yang timbul adalah kerugian yang disebabkan oleh PMH tersebut. Kerugian ini tidak hanya kerugian materiil saja, melainkan juga kerugian moral atau idiil seperti ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Dalam perkara ini, Para Penggugat telah mengalami kerugian baik materiil seperti harta benda, immateriil maupun kehilangan korban jiwa akibat banjir besar yang melanda Jakarta pada Januari¬Februari 2002. Para Penggugat telah memperinci perkiraan besarnya ganti kerugian yang harus diganti oleh Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat. Kerugian yang dikemukakan oleh Para Penggugat ini meliputi kerugian materiil individu yang diperkirakan sebesar Rp. 133.985.000,-, kerugian immateriil individu masing-masing Rp. 100.000.000,- dan kerugian komunal Rp. 1.200.000.000,- untuk memperbaiki sarana publik yang rusak akibat terjadinya banjir sebagaimana dijabarkan dalam gugatannya. 4. Adanya hubungan kausal (sebab akibat) Dalam hukum perdata, persoalan kausalitas bertitik tolak pada persoalan apakah terdapat hubungan kausal antara PMH yang dilakukan dan kerugian. Untuk menentukan adanya hubungan kausal ini digunakan pembatasan dengan adequate theory yang mengajarkan bahwa si pelaku dipertanggungjawabkan atas kerugian yang adalah merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang secara layak dapat diperkirakan akan timbul. Penerapan adequate theory ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang mengharuskan adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukumnya dengan kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tersebut. Berdasarkan teori ini, dari sekian banyak faktor yang sama-sama menimbulkan akibat, maka yang dianggap relevan hanyalah faktor-faktor yang menurut pengalaman merupakan faktor yang memiliki ciri-ciri untuk menimbulkan akibat tertentu. Banjir besar yang terjadi pada Januari¬Februari 2002 di Jakarta telah mengakibatkan kerugian yang dialami oleh Para Pengugat. Dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum, Para Penggugat berpendapat bahwa kerugian ini selain karena disebabkan secara langsung oleh adanya banjir adalah karena Tergugat I, Tergugat II tidak melakukan upaya penanggulangan bencana yang cukup terpadu untuk menghindari terjadinya banjir. Upaya penanggulangan bencana yang terpadu disini seharusnya meliputi penanggulangan sebelum, pada saat dan setelah terjadinya bencana. Pada perkara ini, perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan kerugian terlihat dari tidak adanya peringatan dini kepada masyarakat yang disertai dengan penyuluhan penanggulangan bencana, sehingga masyarakat tidak dapat melakukan persiapan apapun untuk menghadapi bencana yang seharusnya Tergugat II dan walikota yang ada di daerahnya melakukan sistem peringatan dini atas bencana yang baik. Dalam kaitan dengan Turut Tergugat yang digugat melakukan PMH karena tidak mengendalikan pembangunan vila-vila di kawasan Puncak yang berlebihan, kami berpendapat bahwa faktor ini pun merupakan faktor yang turut menyebabkan terjadinya kerugian bagi Para Penggugat. Puncak sebagai daerah konservasi air dan tanah seharusnya tetap memiliki kawasan hijau yang cukup guna mempertahankan fungsi tersebut. Fakta bahwa kemudian terjadi pembangunan vila-vila di kawasan Puncak secara berlebihan menurut pendapat kami adalah juga faktor yang menjadi penyebab banjir di kawasan Jakarta yang berakhir pada timbulnya kerugian akibat banjir yang terjadi. KESIMPULAN Dari uraian di atas, ternyata bahwa yang memenuhi keseluruhan unsur-unsur PMH sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah pihak Tergugat II, Turut Tergugat beserta walikota di wilayah DKI Jakarta serta walikota dan bupati di kawasan Bopuncur. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, titik pusat pelaksanaan pemerintahan daerah kini berada pada tingkat pemerintah daerah dan kota. Undang-undang ini telah memberikan pemerintah daerah kota dan kabupaten kewenangan pemerintahan yang cukup luas dengan pengecualian beberapa kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 9. Hal mana kurang digali oleh Para Penggugat dalam menyusun gugatannya, sehingga gugatan hanya ditujukan pada Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat saja.
Name: Zainuddin H.Abdulkadir Home: Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia About Me: Nothing ever happened in the past; it happened in the now, nothing will ever happen in the future;it will happen in the now. See my complete profile
Post a Comment
agar blog ini lebih baik, kasi komentar ya