ZR and Partner

we are can help your problem

 
We Office
Kantor Advokat
Zainuddin H.Abdulkadir, SH & Rekan
alamat: Jl. Hasanuddin No. 83 B Kota Pontianak
telp.0561-7566555
fax.0561 773126
email : zanhak @gmail.com
Partnership
Konsultasi
konsultasi gratis
telp.0561 7566555
dengan Anselma, SH
Just For You
zwani.com myspace graphic comments
Traffic
who online
Your Comments here

ShoutMix chat widget
Kalender

Free Blog Content

Your music
Email
You Tube
Photobucket
ANALISA PUTUSAN NO. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST PERKARA GUGATAN CLASS ACTION BANJIR DI JAKARTA
Saturday, December 27, 2008
oleh:
Desita Sari, SH/ Cucu Asmawati, SH

08 Nov 2003, 13:27:48 WIB - pemantauperadilan.com



Disamping gugatan perdata dengan cara-cara yang telah diatur dan
dipraktekkan dalam hukum acara perdata selama ini, kini mulai berkembang
mekanisme pengajuan gugatan perdata melalui class action, legal standing dan
citizen law suit. Penggunaan mekanisme pengajuan gugatan yang terbilang baru
dalam sistem hukum kita tersebut, pada dasarnya mempunyai satu kesamaan antara
satu dengan lainnya, yakni adanya hak masyarakat secara luas untuk mengajukan
gugatan dalam hal timbulnya kerugian baik yang bersifat individual maupun
komunal. Namun, mekanisme ini pada dasarnya hanya merupakan salah satu syarat
masuk saja untuk beracara di pengadilan. Sementara keberhasilan dari mekanisme
itu sendiri dalam upaya mempertahankan hak atau menuntut ganti kerugian akan
sangat bergantung dari keseluruhan proses di pengadilan.


POSISI KASUS

Pada tahun 1996 terjadi banjir besar yang menimpa Jakarta. Pada saat
itu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memperkirakan bahwa banjir besar akan
terjadi pada awal tahun 2002. Perkiraan inilah yang kemudian terbukti pada akhir
Januari sampai dengan awal Februari 2002. Banjir ini telah mengakibatkan
kerugian bagi warga Jakarta. Tidak hanya kerugian materiil dan immateriil,
beberapa korban banjir pun harus kehilangan sanak saudaranya akibat terbawa arus
banjir yang cukup deras, terkena sengatan arus listrik ataupun terkena serangan
penyakit.

Besarnya kerugian yang dialami oleh sebagaian besar warga Jakarta
akibat banjir tersebut, serta lambatnya penanganan pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat dalam mengantisipasi dan menanggulangi banjir tersebut, menjadi
latar belakang pengajuan gugatan perwakilan kelas (class action) oleh para
korban banjir di Jakarta. Para Penggugat yang terdiri dari 15 orang wakil kelas,
yang memberikan kuasa khusus tertanggal 4 Maret 2002 kepada Tim Advokasi Banjir
Jakarta, berkantor di Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta mengajukan surat gugatan
tertanggal 13 Maret 2002 kepada Kepaniteraan Jakarta Pusat. Para Penggugat
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (untuk selanjutnya disebut PMH)
kepada Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia sebagai
Tergugat I, Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq.
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Tergugat II serta , Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Rep
ublik
Indonesia Cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai
Turut Tergugat.

Dalam gugatannya, Para Penggugat sebagai wakil kelas mendalilkan
bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mengalami kerugian (korban)
akibat banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada akhir Januari sampai
dengan awal Februari 2002. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan dan
keberpihakan para wakil kelas tidak diragukan lagi, sehingga patut dan pantas
untuk mewakili masyarakat luas khususnya masyarakat dan warga DKI Jakarta
mengajukan gugatan ini.

Selain dalil tersebut di atas, untuk menguatkan kedudukannya sebagai
pihak yang dapat mengajukan gugatan ini, para Penggugat menunjukkan peraturan
perundang-undangan sebagai dasarnya antara lain: UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, UUNo. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi serta UU Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.

Gugatan dengan No. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST ini merupakan gugatan
perbuatan melawan hukum, hal mana disebutkan oleh para wakil kelas bahwa
Tergugat I dan II serta Turut Tergugat telah melanggar Pasal 1365 dan Pasal 1366
jo. Pasal 1367 KUHPerdata.

Adapun PMH yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan Turut Tergugat
meliputi hal-hal sebagai berikut:

(1) Bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melanggar ketentuan Pasal 28 (f)
Perubahan Kedua UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan meperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada”,
dimana Tergugat I dan Tergugat II telah menutup akses bagi masyarakat dan wakil
kelas untuk mendapatkan informasi. Tergugat II juga telah melanggar Pasal 43 (e)
UU No.22 tahun 1999 tentang Penerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Kepala
Daerah mempunyai kewajiban meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat jo. Pasal
9,10,11, dan 12 UU No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Republik Indonesia Jakarta yaitu hal kewenangan pemerintahan dari
Tergugat II dan jajarannya dalam memberikan pelayanan masyarakat yang meliputi
penyelenggaraan jasa perkotaan, sarana, prasarana
dan
fasilitas pelayanan masyarakat.



(2) Bahwa Tergugat II telah melanggar kewajiban hukumnya sendiri yaitu SK
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 tentang
Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan Bencana di Wilayah DKI Jakarta, khususnya
pada bagian lampiran tentang:

a. Tujuan: “ ... agar setiap bencana dapat ditanggung secara cepat ,
berdaya guna dan berhasil guna”. Bahwa karena Tergugat II tidak melaksanakan
Protap yang dimaksud maka tujuannya menjadi tidak tercapai, dan banyak korban
nyawa dan harta benda tidak dapat diminimalisir.

b. Bab III bagian 3.1 Prosedur Kerja Sebelum Bencana, yaitu Tergugat II
tidak melaksanakan prosedur 3.1.1. angka (3) yaitu “...menyampaikan informasi
kepada masyarakat di daerah rawan bencana dan sekitarnya untuk melaksanakan
kesiapsiagaan menghadapi bencana” jo. 3.1.2. angka (6) jo. 3.1.3. angka (6)
yaitu : “menyiapkan sarana dan prasarana penanggulangan bencana”.

c. Bagian 3.2. prosedur Kerja Saat Bencana yaitu tergugat II tidak
melaksanakan prosedur 3.2.1. angka (6), (7), dan (8) yaitu “...menggerakan peran
serta masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana, ...menyiapkan tempat
penampungan bantuan, ...menerima dan menyalurkan bantuan serta
mempertanggungjawabkan” jo. 3.2.2. angka (5) dan (6) jo. 3.2.3. angka (4), (5),
(8) jo. 3.2.4. angka (2), (5), dan (6) tentang hal yang sama.

d. Bagian 3.3. Prosedur Kerja Setelah Bencana, yaitu Tergugat II tidak
melaksanakan prosedur 3.3.1. angka (2) dan (3) yaitu “...menyelenggarakan peran
serta masyarakat untuk melakukan rehabilitasi,...menyelenggarakan penyukuhan
kepada korban bencana” jo. 3.3.2. angka (3) tentang hal yang sama.

e. Bagian 3.5. tentang Prosedur Penerimaan Bantuan dan 3.6 Prosedur
Penyaluran Bantuan hal mana telah terjadi banyak penyimpangan dalam praktek.



(3) Bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat telah melakukan PMH
dengan melanggar Prinsip-prinsip Azas Pemerintahan yang Baik (Good Governance).
Setiap kebijakan Eksekutif harus bersifat terbuka (open principle) dan
transparan, dalam arti masyarakat yang menjadi objek kebijakan tersebut harus
mengetahui dan ikut memberikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan dari
kebijakan tersebut.

(4) Bahwa Tindakan Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat bertentangan
dengan prinsip-prinsip kepatutan dan kesopanan yang ada di masyarakat, hal mana
Tergugat I dan II secara lalai telah mengabaikan keselamatan warganya dengan
tidak melakukan secara maksimal upaya peringatan dini dan melakukan
penanggulangan bencana dengan cepat dan tepat sasaran.

(5) Bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat melakukan PMH dengan
tidak melakukan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan
“...Perencanaan Nasional dan Pengendalian Pembangunan Nasional Secara
Makro...pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional”.

Pada bagian posita gugatan, Para Penggugat juga memasukkan perincian
kerugian materiil yang dialami oleh mereka beserta perhitungan ganti rugi atas
kerugian immateriil. Selain perincian kerugian yang bersifat individual, Para
Penggugat juga memasukkan perhitungan kerugian yang bersifat komunal, yang
meliputi ganti rugi atas adanya kerusakan fasilitas publik yang diebabkan oleh
banjir.

Pemeriksaan perkara gugatan perwakilan kelompok korban banjir di
Jakarta berlangsung selama kurang lebih sembilan bulan, hingga akhirnya pada
tanggal 21 Nopember 2002 pemeriksaan sidang ditutup dengan pembacaan putusan
oleh majelis hakim. Dalam putusannya setebal 164 halaman majelis hakim akhirnya
memutuskan hal-hal sebagai berikut: menolak eksepsi pihak Tergugat I, Tergugat
II dan Turut Tergugat untuk seluruhnya; menolak gugatan proovisi untuk
seluruhnya; menolak gugatan pihak Para Penggugat seluruhnya.







ANALISA

Analisa ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Adapun yang akan menjadi pokok bahasan dalam
analisa ini meliputi:

1. Hal yang berkaitan dengan eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Turut
Tergugat yang belum diputuskan dalam Putusan Sela;

2. Hal yang berkaitan dengan pembuktian adanya PMH.


Hal yang berkaitan dengan eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat

1. Eksepsi bahwa gugatan Para Penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum
bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action)

Menurut Tergugat I gugatan class action telah diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) RI No.1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dalam bagian “Menimbang” huruf e, PERMA tersebut menyebutkan: “Bahwa telah ada
berbagai undang-undang yang mengatur dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok
dan gugatan yang mempergunakan dasar gugatan perwakilan kelompok, seperti
Undang-undang Nomor23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi belum ada ketentuan yang mengatur
acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan yang diajukan”. Berdasarkan hal
tersebut, Tergugat I menyatakan bahwa gugatan class action atau gugatan
perwakilan kelompok hanya dapat diajukan dalam hal Undang-undang yang berlaku
memperkenankan diajukannya gugatan semacam itu.

Dalam praktek peradilan di Indonesia, mekanisme gugatan perwakilan kelompok
adalah suatu hal yang baru berkembang dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini pun hanya beberapa saja yang
secara tegas mengatur mengenai mekanisme ini, antara lain UU No. 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi serta UU No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan.

Seiring meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, mekanisme gugatan perwakilan
kelompok (class action) tidak hanya dilakukan terhadap perkara-perkara
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada saja,
tetapi juga berkembang dalam perkara lain, seperti salah satu contohnya Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No. 50/Pdt.G/2000/PN .JKT.PST
yaitu keterwakilan 139 tukang becak atas 5000 tukang becak lainnya di Jakarta
yang menggugat Gubernur DKI Jakarta atas kebijakan penghapusan becak di
Jakarta.

Dalam mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action), pada dasarnya ada
dua syarat utama yang harus dipenuhi yakni: pertama, adanya sejumlah besar
orang; dan kedua, adanya kepentingan atau permasalahan yang sama. Kedua hal ini
tercermin pula di dalam Pasal 2 PERMA No. 1 tahun 2002 dimana disebutkan bahwa
gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan
kelompok apabila (a) jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah
efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara
bersama-sama dalam satu gugatan; (b) terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan
kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat
kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya, (c)
wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan
anggota kelompok yang diwakilinya.

Syarat-syarat tersebut telah terpenuhi dalam gugatan ini dimana Para Penggugat
terdiri dari wakil kelompok (kelas) dan anggota kelompok (kelas) yang terdiri
dari banyak orang yang menuntut kerugian atas peristiwa banjir yang terjadi pada
sekitar bulan Januari hingga Februari 2002 di Jakarta. Dalam hal ini, telah ada
demikian banyak orang dengan kesamaan fakta dan dasar hukum untuk selanjutnya
mengajukan tuntutan yang sama.

Eksepsi Tergugat I yang menyatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok (class
action ) hanya dapat diperkenankan berdasarkan undang-undang tertentu saja,
menurut pendapat kami tidak tepat. Bagian “Menimbang” huruf e PERMA NO. 1 tahun
2002 dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa ada peraturan perundangan-undangan
yang memperkenankan mekanisme gugatan perwakilan kelompok, namun hukum acaranya
masih belum diatur, sehingga akhirnya MA mengeluarkan PERMA tersebut sampai
adanya ketentuan perundang-undangan untuk itu.

Berdasarkan dasar-dasar tersebut, putusan hakim yang menyatakan bahwa eksepsi
ini tidak mempunyai dasar hukum serta patut untuk ditolak adalah tepat.

2. Eksepsi bahwa surat kuasa cacat yuridis

Pasal 123 HIR mengatur adanya kemungkinan bagi para pihak untuk dibantu atau
diwakili oleh kuasanya, hal mana pemberian kuasa tersebut dituangkan dalam surat
kuasa khusus. Pasal ini tidak menyebutkan secara tegas bagaimana bentuk surat
kuasa khusus yang dimaksud di sini, sehingga dalam praktek bentuk/format surat
kuasa khusus ini sangatlah beragam.

Dalam surat kuasa Para Penggugat tertanggal 4 Maret 2003, pada bagian identitas
pemberi kuasa hanya disebutkan Nuraeni, dkk, sementara 14 wakil kelas lain yang
memberikan kuasa tidak secara langsung disebutkan pada bagian identitas pemberi
kuasa, melainkan dilampirkan pada bagian lampiran di halaman 2. Hal ini menurut
pendapat kami tidak berarti bahwa surat kuasa tersebut tidak sah, karena seperti
telah disebutkan bahwa tidak ada bentuk/format baku dari suatu surat kuasa
khusus. Sementara surat kuasa Para Penggugat menurut pendapat kami telah
memenuhi ketentuan standar yang harus dimiliki oleh sebuah surat kuasa, yakni
identitas pemberi dan penerima kuasa serta hal-hal apa saja yang dikuasakan.
Dalam kaitannya dengan ketentuan bea materai berdasarkan UU No. 13 tahun 1985,
surat kuasa Para Penggugat pun telah memenuhi ketentuan tersebut, hal mana pada
surat kuasa telah dilekatkan bea materai yang dimaksud.

Memperhatikan eksepsi Tergugat II yang menyatakan bahwa seharusnya surat kuasa
tersebut dibuat dalam 15 surat kuasa dari pemberi kuasa dengan bea materai untuk
masing-masing surat kuasa, agaknya terlalu berlebihan. Hal ini disadari pula
oleh majelis hakim yang menyatakan bahwa surat kuasa Para Penggugat telah sesuai
dengan ketentutan yang ada. Hakim berpendapat bahwa lampiran surat kuasa
tertanggal 4 Maret 2002 adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaran
pertama yang memuat nama pemberi kuasa Nuraeni, dkk (terlampir) dan karenanya
hal tersebut tidak mengurangi nilai kedudukan para pemberi kuasa.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, putusan hakim yang menyatakan bahwa
surat kuasa Para Penggugat tidak cacat yuridis dan menolak eksepsi Tergugat II
sudah tepat.

3. Eksepsi bahwa istilah wakil kelas untuk menggantikan sebutan Penggugat

Menurut Tergugat, Peraturan Perundang-undangan Hukum Acara Perdata
yang berlaku di Indonesia hanya mengatur istilah “PENGGUGAT” dan “TERGUGAT”
sebagai pihak berperkara dalam suatu yurisdiksi kontentiosa di pengadilan (vide
Pasal 118 HIR/RIB) dan sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur hukum formal (hukum acara) yang mengenal istilah “PENGGUGAT”. Oleh
karena itu, gugatan perwakilan yang diajukan oleh bukan “PENGGUGAT” melainkan
hanya menyebutkan “WAKIL KELAS” saja menyebabkan tidak jelasnya siapa
“PENGGUGAT” dalam perkara a-quo dan pelanggaran atas formalitas beracara
sehingga gugatan perwakilan a-quo harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam suatu gugatan perdata, pihak yang mengajukan gugatan disebut dengan
Penggugat, sedangkan pihak yang digugat disebut sebagai Tergugat. Sementara itu,
dalam gugatan perwakilan kelompok, yang bertindak sebagai penggugat adalah wakil
kelas/kelompok. Berdasarkan hal tersebut, menurut pendapat kami, penyebutan
istilah wakil kelas bukanlah bermaksud untuk menggantikan istilah Penggugat,
melainkan untuk lebih memperjelas bahwa dalam gugatan perwakilan kelompok,
penggugatnya adalah para wakil kelas.

Hal ini pada dasarnya telah dicantumkan oleh Penggugat dalam bagian persona
standi gugatan yang menyebutkan bahwa 15 orang wakil kelas selanjutnya akan
disebut sebagai Pihak Penggugat atau Para Wakil Kelas. Hal ini menunjukkan
dengan jelas bahwa tidak ada kerancuan mengenai siapakah pihak yang mengajukan
gugatan apakah wakil kelas atau penggugat sebagaimana disebutkan dalam eksepsi
Tergugat II.

Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa istilah para wakil kelas bukan
dimaksudkan untuk menggantikan penyebutan Penggugat melainkan hal tersebut sama
dan sejiwa dengan penyebutan Para Penggugat. Berdasarkan hal tersebut, hakim
menyatakan bahwa eksepsi tergugat II mengenai istilah wakil kelas yang
menggantikan istilah penggugat adalah tidak berdasar sehingga patut untuk
ditolak.

4. Eksepsi bahwa gugatan Para Penggugat salah alamat (error in subjecto)

Pihak Turut Tergugat menyatakan dalam eksepsinya bahwa Gubernur Kepala Daerah
tidak merupakan suatu Badan Hukum, melainkan suatu Jabatan/Pejabat Negara
sehingga yang harus digugat adalah Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat.

Dalam gugatan yang diajukan Para Penggugat, yang menjadi objek gugatan salah
satunya adalah tindakan aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang
berada dalam kekuasaan dan pengawasan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa
Barat. Tindakan yang dimaksud di sini adalah tindakan aparatur Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Barat yang membiarkan pembangunan vila-vila di kawasan Puncak yang
berakibat pada kurangnya daerah resapan air yang berguna untuk menahan air yang
turun saat musim penghujan tiba. Keadaan inilah yang diyakini oleh Para
Penggugat menjadi salah satu penyebab banjir yang terjadi di Jakarta, hingga
kemudian menyertakan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat sebagai pihak
Turut Tergugat dalam gugatannya.

Dalam praktek Hukum Acara Perdata, pihak yang digugat dapat berupa pribadi
kodrati ataupun pribadi hukum, seperti badan hukum. Jika yang digugat adalah
badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), maka yang harus bertindak untuk
adan atas nama PT tersebut adalah Direktur PT tersebut. Sementara itu, dalam hal
yang digugat adalah negara, maka yang digugat adalah Pemerintah Republik
Indonesia, mewakili Negara Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia,
dalam hal ini diwakili oleh Presiden Republik Indonesia, sebagai alat negara
yang memimpin jalannya pemerintahan.

Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah, maka tugas
Presiden di daerah telah dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah
dengan Kepala Daerah Tingkat I sebagai pimpinan pemerintahan di daerah propinsi.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Kami adalah tepat Para Penggugat mengajukan
gugatan kepada Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq.
Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat. Penunjukkan Kepala Daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Barat dimaksudkan untuk mewakili pemerintah daerah, yang mana ia
bertindak untuk dan atas nama pemerintah daerah.

Hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan adalah bahwa yang diberi
kuasa dan juga tergugat atau para tergugat adalah harus benar-benar orang yang
dapat mewakili pihak yang bersangkutan. Para Penggugat sendiri telah
memperhatikan prinsip ini. Dalam salah satu pertimbangnya hakim juga telah
menyebutkan bahwa berdasarkan pendapat umum dan juga pendapat para pakar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, pejabat yang bersangkutan dengan
sendirinya dengan hukum (van rechtswege) mewakili negara dan pemerintah daerah
yang bersangkutan. Dalam hal kemudian mereka dihukum untuk membayar ganti rugi,
maka karena hukum pula negara atau pemerintah daerah yang diwakilinyalah yang
harus membayarnya.

Berdasarkan hal ini, kami berpendapat adalah tepat putusan hakim yang menolak
eksepsi ini karena dinilai tidak berdasar.

5. Eksepsi bahwa posita gugatan obscur libel

Hakim dalam putusannya menolak eksepsi yang diajukan oleh Turut Tergugat yang
menyatakan bahwa posita gugatan obscur libel. Hal ini didasari pada pertimbangan
bahwa posita gugatan Para Penggugat telah jelas dan nyata menguraikan
peristiwa-peristiwa yang terjadi, akibat dari peristiwa tesebut dan perbuatan
hukum apa saja yang dilakukan Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat.

Kami sependapat dengan putusan hakim tersebut. Dalam gugatannya Para Penggugat
telah dengan jelas dan nyata menjelaskan peristiwa yang terjadi. Para Pengugat
telah menjabarkan kronologis peristiwa yang terjadi, tidak hanya secara umum
melainkan juga menjelaskan secara khusus kronologis peristiwa yang menimpa para
wakil kelas. Para Penggugat pun telah menunjukan adanya PMH yang dilakukan
Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat dalam kaitannya dengan
peristiwa-peristiwa yang telah dijabarkan sebelumnya. Lebih jauh, Para Penggugat
telah mencantumkan pula besarnya kerugian yang telah dialami para wakil kelas
beserta kerugian secara komunal .

Hal yang patut dicermati sebenarnya bahwa alasan yang dijadikan dalil atas
eksepsi ini pada dasarnya telah diuraikan satu persatu dalam pokok-pokok eksepsi
lainnya. Eksepsi bahwa posita gugatan obscur libel ini layaknya rangkuman dari
sebagian besar eksepsi para tergugat lainnya.

Dalil Para Penggugat yang menyebutkan bahwa Gubernur Jawa Barat dalam gugatan in
casu ditempatkan sebagai Turut Tergugat, namun dalam petitum gugatan Gubernur
Jawa Barat dituntut seperti layaknya pihak yang bersatus Tergugat, pada dasarnya
sama dengan eksepsi yang menyatakan bahwa materi gugatan bertentangan satu sama
lain. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa ada pihak lain yang harus digugat
seperti para pemilik vila di kawasan Puncak, pemilik bangunan tanpa IMB di
bantaran sungai dan masyarakat yang membuang sampah sembarangan telah disebutkan
pula dalam eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan kurang subjek.


6. Eksepsi bahwa ada obcsur libel pihak Tergugat

Tergugat II dalam eksepsinya menyebutkan bahwa ternyata yang digugat pada
dasarnya satu instansi yakni Negara Republik Indonesia yang sebagai badan hukum
publik tertinggi diwakili oleh Presiden Republik Indonesia. Sedangkan dalam
gugatannya Para Penggugat menggugat pula Negara Republik Indonesia Cq. Presiden
Republik Indonesia Cq.Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta dan
Jawa Barat, hal mana terdapat perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.

Dalam gugatannya, Para Penggugat menggugat Presiden Republik Indonesia Cq.
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat dalam
kaitannya dengan kewenangan mereka masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengendalian dan penanggulangan
banjir, yang karenanya kepada mereka dimintai pertanggungjawaban masing-masing
pula.

Hakim, dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah
negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dimana pemerintahan terdiri dari pemerintah pusat yang dipimpin
Presiden dan pemerintah daerah propinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dikatakan mempunyai hak dan wewenang
masing-masing. Atas dasar tersebut, hakim memutuskan untuk menolak eksepsi
Tergugat II.

Kami sependapat dengan hakim yang menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah
(baik daerah propinsi, kabupaten maupun kota) mempunyai hak dan wewenang
masing-masing, sehingga mereka dapat digugat sehubungan dengan adanya
penyimpangan pelaksanaan hak dan wewewangnya tersebut. Hal ini kami dasarkan
pada ketentuan Pasal 44 UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Kepala Daerah
memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Seorang Kepala Daerah dalam menjalankan tugas kepemimpinannya mempunyai
kewajiban yang salah satunya adalah menegakkan seluruh peraturan
perundang-undangan. Maka jika kemudian ia tidak melaksanakan kewajibannya ini,
sudah sewajarnya ia kemudian dimintai pertanggungjawabannya (digugat) dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin pemerintahan di daerah. Selanjutnya, Pasal 47 UU
NO.22/1999 telah menyatakan bahwa Kepala Daerah mewakili daerahnya baik di dalam
maupun di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa sebagai wakilnya.


7. Eksepsi bahwa gugatan penggugat kurang subjek

Turut Tergugat berpendapat, jika Para Penggugat telah menyadari adanya peranan
para pemilik vila di kawasan Puncak, pemilik bangunan tanpa IMB di bantaran
sungai dan masyarakat yang membuang sampah sembarangan sebagai pihak-pihak yang
turut menyebabkan terjadinya banjir, seharusnya mereka menggugat pula
pihak-pihak tersebut.

Menurut pendapat kami, hal tersebut harus dikaitkan dengan materi gugatan itu
sendiri. Pada dasarnya para pengugat menggugat Turut Tergugat mengenai tidak
adanya program terpadu dalam menanggulangi masalah banjir dan tidak dapat
menghentikan pendirian vila-vila di kawasan Puncak, dimana hal tersebut menjadi
kewenangan pemerintah daerah untuk melaksanakannya. Kebijakan pendirian vila
atau bangunan adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Jika kemudian ada hal-hal
yang menyimpang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah pula. Jika
pemerintah daerah memang telah memuat kebijakan yang turut memperhatikan adanya
program pengendalian banjir, namun kemudian melihat adanya penyimpangan dalam
hal tersebut seperti pembuatan vila-vila di puncak, pendirian bangunan tanpa
IMB, dan pembuangan sampah oleh masyarakat yang sembarangan, seharusnya mereka
sebagai pihak yang berwenang dapat menindak dan memberi sanksi pada para
pelakunya.

Berdasarkan hal tersebut, kami berpendapat alasan eksepsi yang menyatakan
gugatan kurang subjek tidaklah berdasar, hal mana disadari pula oleh hakim
sehingga memutuskan untuk menolak eksepsi ini.

8. Eksepsi bahwa materi gugatan bertentangan satu sama lain

Dalam salah satu eksepsinya, Turut Tergugat menyatakan bahwa pada bagian persona
standi, Gubernur Jawa Barat ditempatkan sebagai pihak Turut Tergugat, namun di
bagian petitum dimohonkan agar perbuatan Turut Tergugat dinyatakan sebagai PMH
dan dituntut pula agar dihukum membayar ganti rugi secara tanggung renteng.

Menurut Turut Tergugat, berdasarkan praktek hukum acara proses peradilan yang
sudah lazim, pada prinsipnya kewajiban Turut Tergugat hanya untuk tunduk dan
patuh pada putusan pengadilan, lebih daripada itu tidak ada. Tuntutan para
Penggugat agar Pengadilan menyatakan Turut Tergugat melakukan PMH dan membayar
ganti rugi adalah bertentangan dengan kewajiban Turut Tergugat. Dalam praktek,
istilah Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang
sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun hanya untuk
lengkapnya gugatan harus diikutsertakan.

Kami berpendapat, Penggugat telah melakukan kekeliruan dalam hal ini. Jika
kemudian dalam petitum gugatan, ia memohonkan hal yang sama kepada hakim untuk
menghukum baik Tergugat I, Tergugat II maupun Turut Tergugat, lalu apa
urgensinya pembedaan istilah antara Tergugat dan Turut Tergugat. Jika dalam
petitum dimintakan adanya pernyataan bahwa Turut Tergugat melakukan PMH dan
karenanya harus membayar ganti rugi secara tanggung renteng dengan Tergugat
lain, maka Para Penggugat harus membuktikan adanya PMH yang dilakukan oleh Turut
Tergugat. Hal ini tidak membedakan kedudukan Tergugat dan Turut Tergugat jika
dikaitkan dengan kewajiban untuk membuktikan adanya PMH. Hakim sendiri tidak
membahas adanya pembedaan antara Tergugat dan Turut Tergugat, melainkan hanya
menyatakan bahwa mengenai perbuatan hukum Turut Tergugat telah masuk kepada
materi perkara yang memerlukan proses pembuktian. Selanjutnya, dalam hal petitum
akan dikabulkan atau tidak akan berpedoman pada proses pembuktian
dan p
eraturan perundang-undangan yang ada.

Dari sini nampak bahwa hakim tidak mempermasalahkan apakah istilah Tergugat atau
Turut Tergugat tepat atau tidak, melainkan melihat saja apakah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh Tergugat atau pun Turut Tergugat merupakan PMH atau tidak.
Jika kemudian ternyata terbukti adanya PMH yang dilakukan oleh Turut Tergugat,
maka tidaklah salah jika kemudian ia dihukum untuk membayar ganti kerugian
secara tanggung renteng beserta Tergugat lainnya. Namun, hal ini dapat dilakukan
dengan catatan, bahwa dalam petitum Penggugat memang memohon agar Turut Tergugat
ikut dihukum untuk membayar ganti kerugian. Ketentuan ini didasarkan pada azas
hukum acara perdata yang menyatakan bahwa dalam memeriksa perkara perdata hakim
bersikap pasif. Maksud dari sikap pasif hakim perdata ini adalah bahwa ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada
azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara.

Hal yang berkaitan dengan pembuktian adanya PMH

Gugatan ini didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”
Untuk dapat dikatakan sebagai PMH berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, sutau
perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya perbuatan melawan hukum;

2. Adanya unsur kesalahan;

3. Adanya kerugian;

4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian
disebabkan oleh kesalahan seseorang.


1. Adanya unsur melawan hukum

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsur berikut :

a. Bertentangan dengan hak orang lain,

b. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;

c. Bertentangan dengan kesusilan;

d. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda.

Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa
suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika
suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut
dapat dikatakan sebagai perbuatan melwan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan
melawan hukum yang dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak
orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri.

Perbuatan Tergugat I yang melawan hukum, menurut Para Penggugat
adalah perbuatannya yang bertentangan dengan Pasal 28 F Perubahan Kedua UUD 1945
yang menerangkan adanya hak setiap orang untuk mendapatkan informasi, hal mana
tidak dipenuhi akses untuk mendapatkan hal tersebut oleh Tergugat I. Hal
tersebut, menurut pendapat kami telah dibantah sendiri oleh Para Penggugat yang
menyatakan bahwa pihak Tergugat I pada banjir besar terakhir yang terjadi tahun
1996, melalui Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) telah memperkiraan banjir
besar akan terjadi kembali pada awal tahun 2002. Sementara itu, Para Penggugat
menyebutkan pula bahwa Menkim Praswil telah memberitahukan curah hujan yang
tinggi diperkirakan akan terjadi hingga Maret 2002 dan menghimbau masyarakat
untuk berhati-hati. Kedua hal tersebut pada dasarnya telah menunjukkan bahwa
tidak ada unsur melawan hukum dalam perbuatan Tergugat I.

Hal tersebut diyakini pula oleh hakim yang selain mendalilkan pada
alasan tersebut di atas, mendalilkan pula pada telah dikeluarkannya berbagai
peraturan oleh Tergugat I untuk mengatasi dan menanggulangi bencana antara lain:
Keppres No.11 tahun 1972 tentang Pembentukan Badan SAR Indonesia, Keppres No. 43
tahun 1990 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan SK Menko
Kesra selaku Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana No.
17/Kep/Menko/Kesra/X/1995 tentang Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. Dalam pelaksanaannya, Tergugat I
memberi bimbingan teknis, bantuan peralatan dan dana. Sedangkan pelaksanaan di
lapangan berada di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Dalam kaitannya dengan perbuatan Tergugat II, unsur melawan hukum
yang utama ditujukan pada perbuatan tidak melakukan peringatan dini dan respon
yang cepat dalam hal terjadinya bencana. Dalam kaitannya dengan unsur-unsur
perbuatan melawan hukum, perbuatan Tergugat II dianggap telah melanggar
kewajibannya sendiri.

Tergugat II sebenarnya telah membuat peraturan yang memberikan
pedoman dalam penanggulangan bencana antara lain: Keputusan Gubernur Kepala DKI
Jakarta No. 363 tahun 1996 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Koordinasi
Pelaksanaan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta dan Satuan Pelaksana
Penanggulangan Bencana Kotamadya DKI Jakarta, Keputusan Gubernur Kepala DKI
Jakarta No. 625 tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Satuan
Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, Keputusan Gubernur
Kepala DKI Jakarta No. 195 tahun 1998 tentang Penyempurnaan Organisasi dan Tata
Kerja Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta, SK
Gubernur DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 tentang Prosedur Penanggulangan Bencana
di DKI Jakarta, serta SK Gubernur DKI Jakarta No. 1882 tahun 1998 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Penanggulangan Bencana Secara Terpadu di DKI
Jakarta.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, penanggulangan bencana di
DKI Jakarta pada pokoknya meliputi penanggulangan bencana sebelum terjadinya
bencana, pada saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana baik di
tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kotamadya yang meliputi hal-hal sebagi berikut:

Sebelum terjadinya bencana
1. Membuat peta rawan bencana;

2. Menyiapkan potensi masyarakat/linmas untuk penanggulangan bencana;

3. Melaksanakan penyuluhan penaggulangan bencana;

4. Menetapkan daerah alternatif pengungsian korban bencana;

5. Memberikan peringatan dini kepada masyarakat yang tinggal di daerah
rawan bencana;

6. Menyusun program penaggulangan bencana antara lain pendidikan dan
pelatihan geladi posko dan geladi tampungan penanggulangan;

7. Menetapkan anggaran penanggulangan bencana dalam APBD.

Pada saat bencana
1. Mengungsikan korban bencana;

2. Mencari dan menyelamatkan korban dari akibat bencana;

3. Memberikan pertolongan pertama pada korban bencana dan menyiapkan dapur
umum;

4. Menyiapkan tempat penampungan sementara;

5. Mengamankan daerah bencana;

6. Menerima, mengelola dan menyalurkan bantuan;

7. Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan Penanggulangan Bencana.


Sesudah terjadi bencana
1. Menginventarisasi jumlah korban dan memperkirakan jumlah kerugian;

2. Memakamkan korban bencana yang meninggal dunia;

3. Merehabilitasi moril dan fasilitas sosial serta fasilitas umum yang
terkena bencana;

4. Menempatkan korban bencana ke pemukiman di daerah yang aman atau ke
lokasi semula.



Saksi-saksi korban yang ada, pada dasarnya menyatakan bahwa sebelum bencana
banjir pada Januari¬Februari 2002, tidak ada pemberitahuan dari Tergugat II akan
hal tersebut maupun penyuluhan penanggulangan menghadapi banjir. Tergugat II
juga tidak menginformasikan adanya tempat penampungan/pengungsian, sehingga saat
terjadinya bencana dimana air masuk ke dalam rumah saksi dan masyarakat dengan
ketinggian 1¬2 meter, mereka menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman dan
membentuk posko dengan swadaya masyarakat. Akibat bencana tersebut pula, para
saksi dan masyarakat korban banjir mengalami penderitaan korban jiwa dan
kerugian harta benda.

Lebih jauh, saksi-saksi ahli yang terdiri dari Eko Teguh Paripurno, Ir. Rio
Tambunan dan Hamento Kusuma Widjaja menyatakan bahwa banjir yang terjadi di
Jakarta pada Januari¬Februari 2002 adalah akibat perbuatan alam dan ulah
manusia. Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah yang mengakibatkan lahan resapan
air beralih fungsi menjadi fasilitas umum yang bersifat bisnis menjadi salah
satu penyebabnya. Selain itu, penderitaan korban jiwa dan harta benda yang
dialami masyarakat korban banjir disebabkan pula oleh sarana dan prasarana yang
tidak memadai dan karena aparatur tidak bekerja dengan optimal.

Instruksi Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 272 tahun 2001 tanggal 31 Nopember
2001 tentang Antisipasi Perkembangan Situasi Musim Hujan di Wilayah Propinsi DKI
Jakarta, ternyata baru ditindaklanjuti pada tanggal 30 Januari 2002 dengan Surat
Tugas No.10/WKq-Pem/I/2002 (bukti P-7), sedangkan banjir di wilayah Propinsi DKI
Jakarta telah terjadi sejak tanggal 23 Januari 2002. Tidak adanya peringatan
dini dan penyiapan potensi masyarakat untuk menanggulangi banjir pun terlihat
dari adanya Laporan Penanggulangan Banjir di Kotamadya Jakarta Barat dan Surat
Lurah Ancol ke seluruh RT/RW di wilayahnya tertanggal 14 Desember 2001, hal mana
dibuat jauh sebelum bencana banjir dan tidak ada tindak lanjut bagi masyarakat
di wilayah rawan banjir.

Berdasarkan hal-hal tersebut, hakim berpendapat telah terjadi perbuatan yang
memenuhi salah satu unsur melawan hukum yakni perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban si pelaku atas peraturan normatif penanggulangan bencana sebelum
terjadi. Namun, disini majelis hakim mempertimbangkan lagi apakah perbuatan yang
dimaksud adalah perbuatan Tergugat II. Hal mana akan kami analisa lebih lanjut
pada bagian adanya kesalahan.

Para Penggugat menyebutkan dalam gugatannya bahwa Turut Tergugat telah melakukan
PMH dalam hal perbuatannya bertentangan dengan prinsip kesopanan dan kepatutan
yang ada di masyarakat. Turut Tergugat juga dianggap melakukan PMH dengan tidak
melakukan ketentuan Pasal 7 (2) UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan “Kewenangan
bidang lain, sebagaimana dimaksud pada (1), meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber
daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi
nasional”.

Hal yang patut dicermati di sini adalah dasar yang digunakan Para Penggugat
untuk menyatakan bahwa Turut Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum,
yakni tidak melakukan ketentuan Pasal 7 (2) UU No. 22 tahun 1999. Pasal ini
adalah pasal yang mengatur kewenangan lain yang bukan merupakan kewenangan
daerah, melainkan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sehingga menurut kami
Para Penggugat kurang cermat dalam membuat surat gugatan.

Jika dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh Para Penggugat akibat banjir,
maka PMH yang ditujukan kepada Turut Tergugat adalah dalam kaitannya dengan
pembanguan vila-vila di kawasan Puncak yang tidak terkendali. Padahal, kawasan
tersebut merupakan kawasan resapan air dan tanah yang berfungsi melindungi
kawasan bawahannya yakni Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. PMH yang dilakukan
oleh Turut Tergugat, dalam hal ini lebih tepat jika dihubungkan dengan Keppres
No. 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur.

Dalam pertimbangannya mengenai PMH yang dilakukan Turut Tergugat, hakim
menyatakan bahwa gugatan didasarkan pada adanya kerugian harta benda dan jiwa
dari Para Penggugat akibat banjir dan bukan karena terjadinya banjir, sehingga
adanya vila-vila di wilayah hukum pihak Turut Tergugat belum tentu atas
kebijakan pihak Turut Tergugat dan juga tidak mempunyai hubungan hukum dengan
penderitaan dan kerugian harta benda Para Pengugat. Hakim juga berpendapat bahwa
tidak ada aturan normatif mengenai kewenangan dan tanggung jawab pihak Turut
Tergugat menyangkut penanggulangan bencana banjir di wilayah DKI Jakarta. Hal
ini menjadi dasar bagi hakim untuk menyatakan bahwa perbuatan Turut Tergugat
tidak memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum.

Kami berpendapat, dasar yang dikemukan oleh hakim kurang tepat dan komprehensif
dengan pertimbangan hukum lain yang dikemukannya. Pada bagian pembuktian unsur
PMH Tergugat I, hakim mempertimbangankan adanya PP No. 47 tahun 1997 tentang
Tata Ruang Nasional yang Terkait dengan Pengelolaan Kawasan Jabodetabek serta
Keppres No. 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur,
ketentuan-ketentuan mana menunjukkan adanya program terpadu menanggulangi
bencana. Ketentuan-ketentuan ini (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya), pada
dasarnya merupakan ketentuan yang secara khusus mengatur kewenangan Turut
Tergugat dalam mengeluarkan kebijakan di wilayahnya, termasuk kebijakan
pembangunan vila-vila di kawasan Puncak, yang seharusnya menjadi daerah
konservasi air dan tanah untuk menghindari terjadinya banjir di kawasan
Jabotadebek.

Hakim juga kurang memperhatikan dan mempertimbangkan secara lebih jauh UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terutama Pasal 9 (1) yang menyebutkan
bahwa kewenangan daerah propinsi sebagai daerah otonom salah satunya adalah
kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang antara lain adalah perencanaan dan
pengendalian pembangunan regional secara makro, pengendalian lingkungan hidup
serta perencanaan tata ruang propinsi (vide Penjelasan Pasal 9 (1) UU No.22
tahun 1999).

Berdasarkan hal-hal tersebut, jika kemudian terjadi banjir yang diakibatkan
pembangunan vila-vila di kawasan Puncak yang tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang ada, hal mana menjadi tanggung jawab Turut Tergugat.
Dengan demikian menurut kami, hal tersebut menunjukkan adanya perbuatan melawan
hukum dari Turut Tergugat yang tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Sementara
itu, pertimbangan apakah ada suatu hubungan hukum antara pembangunan vila-vila
di kawasan Puncak dengan penderitaan dan kerugian yang dialami Para Pengugat
selanjutnya akan kami bahas pada bagian unsur hubungan kausal.





2. Adanya unsur kesalahan

Persyaratan adanya unsur kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata pada
dasarnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk menekankan bahwa si pelaku
PMH hanyalah bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan, bila dari kerugian
tersebut dapat dipersalahkan kepadanya. Syarat ini harus diartikan sebagai
syarat dalam arti subjektif, hal mana akan dilihat apakah suatu PMH dapat
dipersalahkan kepada pelaku.

Dalam perkara ini, perbuatan Tergugat I tidak terbukti memenuhi
unsur melawan hukum, sehingga tidak perlu pembuktian adanya unsur kesalahan yang
harus dikaitkan dengan perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum.

Seperti telah dijelaskan dalam point 1 mengenai unsur melawan hukum,
dalam hal penanggulangan bencana sebelum banjir di DKI Jakarta ternyata ada
suatu perbuatan melawan hukum. Namun, hakim berpendapat bahwa PMH yang terjadi
tidak dapat dipersalahkan kepada Tergugat II, melainkan kepada Walikota
masing-masing Pemerintah Daerah Kota. Pendapat ini didasarkan pada Pasal 3, 4
dan 5 Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 195 tahun 1998 yang mengatur
bahwa pihak Tergugat II adalah Ketua Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan
Bencana yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan koordinasi dan pengendalian
kegiatan penanggulangan bencana berupa memberi petunjuk, pengarahan, pembinaan,
perencanaan dan penyaluran bantuan dan lain sebagainya.

Tugas dan fungsi sebagaimana disebutkan dalam ketentuan tersebut,
ternyata telah ditindaklanjuti oleh pihak Tergugat II dengan mengeluarkan
berbagai kebijakan seperti membuat anggaran penanggulangan bencana dalam APBD,
meminta bantuan Pemerintah Pusat dan mengeluarkan Keputusan No. 222 tahun 1998
tentang Prosedur Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, SK No. 1822 tahun 1998
tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Penaggulangan Bencana Secara Terpadu di
DKI Jakarta, Instruksi No. 272 tahun 2001 tentang Antisipasi Perkembangan
Situasi Musim Hujan di Propinsi DKI Jakarta, Instruksi No. 16 tahun 2002 tentang
Pembentukan Posko-posko dalam Rangka Penanggulangan Dampak Banjir, Surat Tugas
No. 10/WKq-Pem/I/2002 serta melakukan rapat kordinasi, melakukan kunjungan ke
wilayah-wilayah Kotamadya dalam rangka pengecekan secara langsung kesiapan
personil, sarana dan prasarana.

Melihat pada pertimbangan ini, tampaknya majelis hakim tidak cukup
konsisten dalam memberikan dasar pertimbangan. Menurut majelis hakim, salah satu
alasan terbuktinya unsur melawan hukum tercermin dari tidak dilaksanakannya
Instruksi No. 272 tahun 2001 tentang Antisipasi Perkembangan Situasi Musim Hujan
di Propinsi DKI Jakarta oleh Tergugat II. Instruksi tersebut baru
ditindaklanjuti oleh Tergugat II melalui Surat Tugas No. 10/WKq-Pem/I/2002
tertanggal 30 Januari 2002, sedangkan banjir di Jakarta telah terjadi sejak 23
Januari 2002. Namun disisi lain majelis hakim juga mengatakan bahwa peraturan
tersebut sebagai bentuk implementasi tugas dan fungsi yang menunjukkan bahwa
Tergugat II telah melaksanakan kewajiban hukumnya. Pemakaian dalil ini sebagai
pertimbangan untuk menunjukkan tidak adanya kesalahan bagi Tergugat II
sebenarnya malah menunjukkan bahwa perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah
perbuatan Tergugat II.

Dalam pertimbangan selanjutnya, hakim mendalilkan bahwa Pasal 14,
15, dan 16 Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 mengatur
Walikota sebagai Ketua Satuan Penanggulangan Bencana yang mempunyai tugas dan
fungsi untuk kegiatan pelaksanaan upaya penanggulangan bencana secara langsung
di wilayahnya, mengupayakan pencegah terjadinya bencana melalui kewaspadaan
masyarakat dengan kegiatan penyuluhan, pelatihan, gladi dan pembinaan, serta
penerimaan, penyaluran dan pertanggungjawaban bantuan penanggulangan bencana.

Namun, dalil ini kemudian dimentahkan lagi dengan pertimbangan yang
menyatakan bahwa lampiran Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 222 tahun
1998 pada halaman 13 menyebutkan Walikota sebagai Ketua Satuan Pelaksanaan
Penanggulangan Bencana merupakan pelaksana operasional di daerahnya dan
bertanggung jawab kepada pihak Tergugat II. Pernyataan bahwa Walikota
bertanggung jawab kepada Tergugat II sebenarnya menunjukkan bahwa tanggung jawab
dalam pelaksanaan penanggulangan bencana di DKI Jakarta ada pada Tergugat II,
yang berarti menunjukkan pula adanya kesalahan dari Tergugat II.

Kami berpendapat bahwa sebenarnya pendapat hakim yang menyatakan
bahwa perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam perkara ini bukanlah tanggung
jawab atau kesalahan dari Tergugat II, melainkan kesalahan Walikota
masing-masing Pemerintah Kota kurang tepat.

Berdasarkan Pasal 43 UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, salah
satu kewajiban Kepala Daerah adalah menegakkan peraturan perundang-undangan,
termasuk peraturan-peraturan yang menjadi kebijakannya. Artinya, Gubernur Kepala
Daerah tidak hanya cukup mengeluarkan kebijakan saja melainkan terikat untuk
tunduk pada kebijakannya tersebut. Lebih jauh, berdasarkan Penjelasan Pasal 9
(1) UU No. 22 tahun 1999, maka kewenangan pemerintah daerah propinsi meliputi
pula kewenangan untuk merencanakan dan mengendalikan pembangunan regional secara
makro, pengendalian lingkungan hidup dan perencanaan tata ruang. Di lain pihak,
PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah
menyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah tertentu
diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Pasal 4 UU No.22 tahun 1999 menyatakan bahwa :

(1) Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan
disusun daerah propinsi, daerah kabupaten, daerah kota yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.

(2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud dalam (1) masing-masing
berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain.



Pasal 127 UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa:

Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini, seluruh
instruksi, petunjuk, atau pedoman yang ada atau yang diadakan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku.



Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kami melihat bahwa peraturan yang
dijadikan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan untuk menunjukkan
pertanggungjawaban PMH yang dimaksud oleh Para Penggugat, yakni Keputusan
Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 195 tahun 1998 tentang Penyempurnaan Organisasi
dan Tata Kerja Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana di DKI
Jakarta serta SK Gubernur DKI Jakarta No. 222 tahun 1998 tentang Prosedur
Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta kurang lengkap. Kedua peraturan tersebut
seharusnya dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 4 (1) dan (2) jo. Pasal 127 UU
No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan hierarkhi antara
satu sama lain antara pemerintah propinsi, pemerintah kota maupun pemerintah
kabupaten. Ketiganya mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat di daerahnya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Dalam kaitannya dengan PMH yang dilakukan Turut Tergugat, unsur kesalahan
terletak dalam kedudukannya sebagai Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat
yang tidak melakukan penertiban dan membiarkan pembangunan vila-vila di kawasan
Puncak. Hal ini mengakibatkan fungsi kawasan Puncak sebagai daerah konservasi
air dan tanah menjadi terabaikan. Daerah konservasi air dan tanah ini sendiri,
berdasarkan Keppres No. 144 tahun 1999 adalah daerah yang memberikan
perlindungan bagi kawasan bawahannya yakni Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Berdasarkan hal tersebut, maka tidak adanya penertiban dan pengendalian
pembangunan vila-vila di kawasan Puncak menjadi sebab terjadinya banjir di DKI
Jakarta.

Sebagai pemimpin daerah propinsi, dengan berdasarkan pada Pasal 9 (1) UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo. PP No. 47 tahun 1997 tentang Tata
Ruang Nasional yang Terkait dengan Pengelolaan Kawasan Jabodetabek serta Keppres
No. 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur, Turut
Tergugat seharusnya dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mencegah pembangunan
kawasan Puncak yang terlalu berlebihan.

Di samping Turut Tergugat, dengan memperhatikan ketentuan UU No. 22 tahun 1999
dan Pasal 19 (1) Keppres No. 114 tahun 1999 kami berpendapat bahwa pengendalian
pembangunan vila-vila di kawasan Puncak merupakan tanggung jawab Walikota dan
Bupati kawasan Bopunjur sebagai pemimpin pemerintah daerah kota dan kabupaten.





3. Adanya kerugian

Kerugian dalam Pasal 1365 KUHPerdata harus dikaitkan dengan PMH yang
dilakukan. Artinya, kerugian yang timbul adalah kerugian yang disebabkan oleh
PMH tersebut. Kerugian ini tidak hanya kerugian materiil saja, melainkan juga
kerugian moral atau idiil seperti ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan
kesenangan hidup.

Dalam perkara ini, Para Penggugat telah mengalami kerugian baik
materiil seperti harta benda, immateriil maupun kehilangan korban jiwa akibat
banjir besar yang melanda Jakarta pada Januari¬Februari 2002. Para Penggugat
telah memperinci perkiraan besarnya ganti kerugian yang harus diganti oleh
Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat.

Kerugian yang dikemukakan oleh Para Penggugat ini meliputi kerugian
materiil individu yang diperkirakan sebesar Rp. 133.985.000,-, kerugian
immateriil individu masing-masing Rp. 100.000.000,- dan kerugian komunal Rp.
1.200.000.000,- untuk memperbaiki sarana publik yang rusak akibat terjadinya
banjir sebagaimana dijabarkan dalam gugatannya.





4. Adanya hubungan kausal (sebab akibat)

Dalam hukum perdata, persoalan kausalitas bertitik tolak pada
persoalan apakah terdapat hubungan kausal antara PMH yang dilakukan dan
kerugian. Untuk menentukan adanya hubungan kausal ini digunakan pembatasan
dengan adequate theory yang mengajarkan bahwa si pelaku dipertanggungjawabkan
atas kerugian yang adalah merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang
secara layak dapat diperkirakan akan timbul.

Penerapan adequate theory ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal
1365 KUHPerdata yang mengharuskan adanya hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukumnya dengan kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum
tersebut. Berdasarkan teori ini, dari sekian banyak faktor yang sama-sama
menimbulkan akibat, maka yang dianggap relevan hanyalah faktor-faktor yang
menurut pengalaman merupakan faktor yang memiliki ciri-ciri untuk menimbulkan
akibat tertentu.

Banjir besar yang terjadi pada Januari¬Februari 2002 di Jakarta
telah mengakibatkan kerugian yang dialami oleh Para Pengugat. Dalam kaitannya
dengan perbuatan melawan hukum, Para Penggugat berpendapat bahwa kerugian ini
selain karena disebabkan secara langsung oleh adanya banjir adalah karena
Tergugat I, Tergugat II tidak melakukan upaya penanggulangan bencana yang cukup
terpadu untuk menghindari terjadinya banjir. Upaya penanggulangan bencana yang
terpadu disini seharusnya meliputi penanggulangan sebelum, pada saat dan setelah
terjadinya bencana.

Pada perkara ini, perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan kerugian
terlihat dari tidak adanya peringatan dini kepada masyarakat yang disertai
dengan penyuluhan penanggulangan bencana, sehingga masyarakat tidak dapat
melakukan persiapan apapun untuk menghadapi bencana yang seharusnya Tergugat II
dan walikota yang ada di daerahnya melakukan sistem peringatan dini atas bencana
yang baik.

Dalam kaitan dengan Turut Tergugat yang digugat melakukan PMH karena tidak
mengendalikan pembangunan vila-vila di kawasan Puncak yang berlebihan, kami
berpendapat bahwa faktor ini pun merupakan faktor yang turut menyebabkan
terjadinya kerugian bagi Para Penggugat. Puncak sebagai daerah konservasi air
dan tanah seharusnya tetap memiliki kawasan hijau yang cukup guna mempertahankan
fungsi tersebut. Fakta bahwa kemudian terjadi pembangunan vila-vila di kawasan
Puncak secara berlebihan menurut pendapat kami adalah juga faktor yang menjadi
penyebab banjir di kawasan Jakarta yang berakhir pada timbulnya kerugian akibat
banjir yang terjadi.





KESIMPULAN

Dari uraian di atas, ternyata bahwa yang memenuhi keseluruhan unsur-unsur PMH
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah pihak Tergugat II,
Turut Tergugat beserta walikota di wilayah DKI Jakarta serta walikota dan bupati
di kawasan Bopuncur.

Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, titik pusat
pelaksanaan pemerintahan daerah kini berada pada tingkat pemerintah daerah dan
kota. Undang-undang ini telah memberikan pemerintah daerah kota dan kabupaten
kewenangan pemerintahan yang cukup luas dengan pengecualian beberapa kewenangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 9. Hal mana kurang digali oleh Para
Penggugat dalam menyusun gugatannya, sehingga gugatan hanya ditujukan pada
Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat saja.

Labels:

posted by Zainuddin H.Abdulkadir @ Saturday, December 27, 2008  
0 Comments:

Post a Comment

agar blog ini lebih baik, kasi komentar ya

<< Home
 
About Me

Name: Zainuddin H.Abdulkadir
Home: Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia
About Me: Nothing ever happened in the past; it happened in the now, nothing will ever happen in the future;it will happen in the now.
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by
ZR AND PARTNER

lbh mabm-kb
-

Blogger TemplatesFree Shoutbox Technology Pioneer Graphic Designer - Company Brand Design
Graphic Designer

 Subscribe in a reader

Subscribe in Bloglines

Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free!

Subscribe in podnova

Powered by Blogger

Life is Such a Wonderful Thing

Sonic Run: Internet Search Engine

Powered by FeedBurner

Blogger Templates

BLOGGER