ZR and Partner

we are can help your problem

 
We Office
Kantor Advokat
Zainuddin H.Abdulkadir, SH & Rekan
alamat: Jl. Hasanuddin No. 83 B Kota Pontianak
telp.0561-7566555
fax.0561 773126
email : zanhak @gmail.com
Partnership
Konsultasi
konsultasi gratis
telp.0561 7566555
dengan Anselma, SH
Just For You
zwani.com myspace graphic comments
Traffic
who online
Your Comments here

ShoutMix chat widget
Kalender

Free Blog Content

Your music
Email
You Tube
Photobucket
Analisis terhadap Perkara Nomor 021/PUU-III/2005
Wednesday, December 24, 2008


Dalam kaitannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 021/PUU-III/2005, yaitu permohonan Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78 ayat (15) yang telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945.

Pemerintah dalam menyampaikan keterangan tertulisnya atas Perkara Nomor 021/PUU-III/2005, yaitu pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78 ayat (15), disebutkan bahwa hutan sebagai salah satu sektor sumber daya pendukung pembiayaan pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia pada umumnya. Karena itu, hutan harus dikelola, dilindungi, dan dimanfaatkan secara benar dan berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat seluas-luasnya. Selanjutnya, dalam rangka pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan di sektor kehutanan, pemerintah juga menyampaikan komitmennya atas pemberantasan illegal logging, baik komitmen dalam bentuk produk kebijakan maupun komitmen dalam bentuk implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon, Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, yang menyatakan:

Pasal 78 ayat (15) yang berbunyi: "semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara".

Serta penjelasan Pasal 78 ayat (15) sepanjang menyangkut kata "yang termasuk alat angkut antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain".

Secara sistematika keberadaan, Pasal 78 ayat (15) Undang-undang aquo tidak lepas dari keberadaan Pasal 50 ayat(3) huruf f, h, dan j, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang, menyatakan:

(3) Setiap orang dilarang:
a……..; b…….; c……dst
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g…....;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i………..;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
Sehingga patut menjadi telaah bahwa Pasal 78 ayat (15) Undang-undang aquo dan Pasal 50 ayat (3) huruf f, h dan j Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah serangkaian pasal tindak pidana dibidang kehutanan yang sengaja dijeratkan untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana bidang kehutanan maka keberadaan pasal tersebut adalah lebih pada kepentingan politis-subjektif pemerintah yang diberlakukan dalam rangka kepentingan nasional untuk mengatur tata kelola sumberdaya alam yang lebih baik. Secara hirarki pun Pasal 78 ayat (15) Undang-undang aquo tetap mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta acara pidananya.

Apabila kita coba lihat secara substansial dari unsur Pasal 78 ayat (15) Undang-undang aquo:
- semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran
- dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya
- yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
- dirampas untuk negara
Secara implisit sudah jelas dari pasal tersebut bahwa terdapat hubungan kausal antara perbuatan pidana dengan alat-alat termasuk alat angkutnya yang menyertai perbuatan pidana tersebut. Sehingga apa yang menjadi rujukan acara pemidanaan berkaitan dengan barang/alat/benda yang menyertai perbuatan pidana berdasarkan pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)4 sudah terpenuhi.

Bahwa kemudian Pemohon perkara Nomor 021/PUU-III/ 2005 dirugikan, karena empat (4) unit mobil (truck) Toyota New Dyna yang digunakan sebagai alat angkut kayu yang diperoleh secara ilegal (illegal logging) telah dirampas oleh pihak Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi Jambi, Propinsi Jambi, hal tersebut sepenuhnya merupakan perkara perdata antara Pemohon dengan pemakai truck (pelaku kejahatan illegal logging) yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri, sehingga apa yang terjadi dan segala akibat dari perjanjian perdata yang dilakukan oleh pelaku kejahatan illegal logging, sudah seharusnya diselesaikan secara perdata antara Pemohon (pemilik) dengan penyewa (pelaku kejahatan).

Meskipun demikian tidak serta merta karena ditolaknya permohonan pemohon oleh MK, kesewenang-wenangan perampasan hak milik tetap tidak dibenarkan oleh konstitusi dan berkaitan dengan perampasan benda-benda milik pemohon yang diperoleh melalui perjanjian fidusia masih tetap terlindungi oleh berbagai ketentuan dalam UU Fidusia.

III. Good Governance Sebagai Solusi Ketimpangan

Ditolaknya permohonan pemohon perkara Nomor 021/PUU-III/2005 atas Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78 ayat (15) yang telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945,bukan merupakan akhir bagi pemohon pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untukmencari keadilan dan menegakkan hukum. Meskipun berdasarkan peraturan perundangan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan final, dimana tidak ada upaya hukum luar biasa lainnya yang dapat dilakukan berkaitan dengan perkara yang diputus tersebut, tetapi kita dapat mendorong kepada para pemerintah, pelaku politik, pelaku hukum, dan yang lainnya untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik.

United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa (nation affairs). Governance dikatakan baik (sound atau good) apabila sumber daya dan masalah-masalah publik (public resources dan public affairs) dikelola secara efektif dan efisien yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Tentu saja, pengelolaan yang efektif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat menuntut adanya iklim yang demokratis dalam pengelolaan sumber daya dan masalah-masalah publik tersebut. Oleh karenanya pengelolaan yang efektif, efisien, dan responsif harus didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.5

Untuk mencapai kondisi di atas, Indonesia sebagai negara yang sedang memasuki era transisi (country in transition), maka paling tidak dibutuhkan 6 (enam) prasyarat:6

  • Sistem perwakilan yang efektif (effective representative system) yang mampu menjamin lembaga perwakilan menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif, pembuatan legislasi, dan penyerap aspirasi masyarakat yang efektif.
  • Rule of law yang demokratis (Democratic Rule Of Law), yang mensyarakatkan adanya:
    i. the supremacy of law dimana setiap tindakan negara harus dilandasi oleh hukum dan bukan berdasarkan pada diskresi (tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya);
    ii. hukum yang responsif, yaitu hukum harus mampu menyerap seoptimal mungkin aspirasi masyarakat luas, dan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat (terutama kelompok–kelompok masyarakat marjinal), dan bukan dibuat untuk kepentingan segelintir elite;
    iii. Penegakan hukum yang konsisten dan non discriminative;
    iv. Keberadaan peradilan yang independen (independence of judiciary) yang mandiri (bebas dari campur tangan eksekutif), bersih (bebas dari korupsi), dan professional (mampu membuat putusan-putusan yang adil serta melalui pertimbangan hukum yang baik).
  • Aparatur pemerintah (birokrasi) yang profesional dan memiliki integritas yang kokoh (Strong, Profesional, dan Relaible Bureaucracy)
  • Masyarakat sipil yang kuat dan partisipatif (Strong and Participatory Civil Society)
  • Desentralisasi yang demokratis (Democratic Decentralization), dengan mengedepankan desentralisasi yang lebih luas dari sekedar devolusi (pengalihan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah). Desentralisasi dalam konteks good governance adalah pengelolaan urusan lokal oleh pemerintah beserta masyarakat lokal itu sendiri yang didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keberlanjutan (sustainability).
  • Sistem dan mekanisme resolusi konflik yang efektif.

Prasarat-prasarat good governance tersebut di atas, kemudian harus ditelaah lebih jauh, apakah prasarat tersebut akan menjadi solusi yang kemudian diimplementasikan atau akan hanya diwacanakan yang kemudian menjadi manipulasi atas ketimpangan-ketimpangan partisipasi politik, ketimpangan penegakan hukum, tumpang tindihnya kebijakan bahkan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam. Artinya, pemerintah harus merespon secara cepat agar stabilitas nasional semakin baik dan target-target peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi cepat terwujud.

IV. Pelajaran Berharga Dari Ditolaknya Permohonan Pemohon Perkara Nomor 021/PUU-III/ 2005

Mungkin kita coba mundur beberapa tahun sebentar, yaitu pada saat perdebatan tentang materi UU Kehutanan pada awal mulai disahkan. Dengan ditetapkannya UU Pokok Kehutanan, pemerintah menetapkan kawasan hutan negara secara sepihak seluas 143 juta hektar, atau kurang lebih 70% dari seluruh luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini dilakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan. Di dalam wilayah seluas 143 juta hektar ini, di atas wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi diberikanlah hak-hak pengusahaan hutan (HPH dan HPHTI).7

Di satu sisi, kita melihat kenyataan (de facto) bahwa masyarakat, khususnya masyarakat adat, menetap di satu tempat (hutan) dan mengelola tanah dan sumber daya alam di tempat itu berdasarkan sejarah yang panjang dan melalui sebuah interaksi intens dengan alam yang melahirkan sistem sosial dan budaya setempat. Sejarah hubungan yang panjang dengan tanah atau wilayah adat tersebut kemudian menimbulkan beberapa jenis klaim hak atas tanah dan sumber daya alam. Sebuah laporan studi yang dilakukan oleh Inter-American Development Bank, pada 2001,5 menyimpulkan tiga kategori besar klaim yang muncul dari masyarakat adat: (a) Klaim berdasarkan ancient atau historical title; (b) Klaim berdasarkan immemorial possession dan special relationship with lands; (c) Klaim berdasarkan kompensasi atas past injustice and discrimination. Dalam lingkup masyarakat adat di Indonesia, ketiga jenis klaim ini dapat ditemukan di beberapa daerah.8

Dalam kajian hukum yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA),9 nyatalah bahwa pengakuan yang diberikan oleh negara terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak yang menyertainya adalah pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat ini dapat dilihat dalam rumusan-rumusan pasal-pasal berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan masyarakat adat. Misal Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) dan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah dua peraturan perundangan yang sekian lama memberlakukan pengakuan bersyarat tersebut dengan tambahan frase sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Anak kalimat bersyarat seperti ini pula yang terdapat dalam Pasal 18 B ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang (pasal 18B ayat 2); dan Pasal 28 I ayat 3 Amendemen Keempat UUD 1945: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Hal ini menjadi penting untuk dibahas karena apabila dikaitkan dengan komitmen pemerintah atas pemberantasan illegal logging serta restrukturisasi tata kelola, masyarakat adat dipastikan akan selalu menjadi korban. Banyak kasus sudah terjadi, penggusuran, perampasan, pembakaran, penganiayaan, penangkapan, penahanan, penembakan, dan pembunuhan selalu mewarnai aksi pemerintah ketika mencoba merealisasikan komitmennya secara represif. Dan solusinya selalu diselesaikan sepihak dengan alasan-alasan positivis yang memang kebijakan yang ada telah mengondisikan bahwa masyarakat adat telah dinafikan. Padahal, kita tahu bahwa masyarakat adat sebenarnya telah mempunyai struktur tata kelola tersendiri (kearifan lokal) ketika bicara tentang keberlanjutan sumber daya alam.

Apabila kita coba komparasikan antara permasalahan masyarakat adat di atas dengan permohonan pemohon perkara Nomor 021/PUU-III/2005 atas Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78 ayat (15) yang telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945, jelas merupakan posisi yang dilematis yang diskriminatif. Berkaitan dengan haknya pemohon masih dilindungi dengan UU fidusia karena memang berangkat dari perjanjian fidusia. Tetapi, bagaimana dengan masyarakat adat yang telah dirampas haknya? Bukan hanya benda yang terampas, tetapi juga nilai-nilai lokal yang sudah terbangun berabad yang lalu ikut juga terampas.

Mungkin ketimpangan-ketimpangan ini bisa menjadi perenungan bagi pemerintah agar ke depan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang jauh dari nilai-nilai hak asasi manusia tidak akan terjadi kembali.

Labels:

posted by Zainuddin H.Abdulkadir @ Wednesday, December 24, 2008  
0 Comments:

Post a Comment

agar blog ini lebih baik, kasi komentar ya

<< Home
 
About Me

Name: Zainuddin H.Abdulkadir
Home: Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia
About Me: Nothing ever happened in the past; it happened in the now, nothing will ever happen in the future;it will happen in the now.
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by
ZR AND PARTNER

lbh mabm-kb
-

Blogger TemplatesFree Shoutbox Technology Pioneer Graphic Designer - Company Brand Design
Graphic Designer

 Subscribe in a reader

Subscribe in Bloglines

Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free!

Subscribe in podnova

Powered by Blogger

Life is Such a Wonderful Thing

Sonic Run: Internet Search Engine

Powered by FeedBurner

Blogger Templates

BLOGGER