Tulisan ini kami anggap sangat menarik, sehingga kami post dari: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak semata-mata ditujukan kepada subjek hukum tertentu (Pemohon-red), tetapi ditujukan terhadap setiap orang sebagai penegasan frasa “setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pemerintah menganggap UU ITE merupakan bentuk perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara kepada setiap orang.
Demikian penjelasan Aswin Sasongko, Sekretaris Jenderal Departemen Komunikasi dan Informasi (Kominfo), mewakili Pemerintah memberikan keterangan dalam sidang uji materi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, Kamis (12/2), di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK)
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Lanjut Aswin, ketentuan yang berlaku dalam UU ITE justru memberikan jaminan hak-hak konstitusi. “Sepanjang mereka melaksanakan haknya sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya, tidak perlu menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran dari para jurnalis,” ujar Aswin.
Salah satu unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan, “…memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik….” berkaitan dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga hal tersebut memberikan perlindungan tersendiri bagi harkat dan martabat seseorang yang bersifat tak ternilai (immateriil).
UU ITE sangat diperlukan di samping keberlakuan Pasal 310 dan 311 KUHP, karena pengaturan di dalam UU ITE tentang penggunaan media informasi elektronik/internet memiliki karakteristik yang sangat khusus serta dapat menyebarkan informasi tanpa batas dalam waktu yang singkat. “Dengan demikian perlu diatur sendiri,” pungkas Aswin.
Pendapat Pemerintah inilah yang bertentangan dengan alasan Pemohon yang menyatakan bahwa UU ITE menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan multitafsir. Selain itu, Pemohon menganggap Pasal 27 ayat (3) UU ITE merugikan hak konstitusionalnya untuk mengeluarkan pendapat melalui internet yang didasarkan pada fakta-fakta. Bagi Pemohon, internet adalah wahana kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam mengeluarkan pikiran, meski harus menuruti etika dan kaidah-kaidah kesusilaan, kesopanan, dan hukum.
Mendukung keterangan Aswin, Sidki Wahab, Mantan Ketua Pansus RUU ITE menceritakan bahwa pembentukan UU ITE didasarkan majunya perkembangan teknologi secara global yang perlu dimanfaatkan secara aman dan sesuai dengan nilai-nilai serta ketentuan hukum yang berlaku. “Sesungguhnya Pemohon merasa takut dengan keterbatasan ruang yang ditimbulkan oleh ketentuan UU ITE. Oleh karena itu sebaiknya pasal ini tidak dipahami sepenggal-sepenggal, karena merupakan satu kesatuan bentuk kumulatif dengan yang lain,” jelas Sidki.
Lebih lanjut, Sidki menjelaskan dalam menjalankan sebuah kebebasan berpendapat setiap orang tetap wajib tunduk kepada hukum yakni tetap menghormati hak asasi hidup orang lain dan bisa memilah antara fakta dan opini. “ sehingga sistem kebebasan tersebut sesuai dengan culture suatu bangsa,” terangnya.
Menanggapi keterangan Pemerintah, Ahli dari Pemohon, Rudi Rusdiah, berpendapat bahwa ketentuan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menimbulkan ketidakpastian hukum. Substansinya sangat umum dan tidak detil, namun implikasinya, ganjaran hukuman yang sangat berat dan tajam yang tercantum dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE berupa pidana penjara enam tahun dan denda sebesar Rp 1 Milyar. “Undang-undang ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja untuk menghukum pihak lain,” ujarnya.
Selain itu, Rudi menilai substansi UU ITE tumpang-tindih dengan ketentuan yang tercantum di dalam KUHP. Payung hukum yang digunakan sebagai dasar transaksi elektronik terlalu lebar dan meluas. “Sebaiknya dapat dipisahkan per subtansi antara privasi, pers, dan transaksi elektronik seperti yang terjadi di Singapore,” terang mantan anggota kelompok kerja draft akademis RUU Cyberlaw, Teknologi Informasi (TI), dan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (IETE).
Dalam persidangan UU ITE ini turut dijelaskan bagaimana proses pendistribusian informasi melalui internet. Dalam hal penulisan melalui milis, Penulis mengirim satu dokumen, kemudian semua peserta milis otomatis mendapat satu salinan. Selain itu yang patut digarisbawahi adalah dalam proses pendistribusian data melibatkan banyak pihak, antara lain, pembuat, penerbit, perantara (hosting, telkom, warnet/kantor), pembaca dan kantor, di samping pengirim dan penerima yang aktif. “Surat elektronik dapat dengan mudah diubah tanpa sepengetahuan pihak pertama, untuk kemudian disebarluaskan melalui internet,” jelas Andika Triwidada selaku Ahli TI. (Andhini SF)
Labels: hukum |
Blog ini sangat bagus dan mempunyai misi yang cemerlang di masa yang akan datang, mengingat pengguna internet (ITE) yang terus meningkat dan melaju dengan pesatnya. maka tak heran dalam kurun waktu yang tidak lama sudah berjatuhan korban, penghinaan, pelecehan, penipuan, pemerasan dsb. atau sebaliknya. untuk lebih mengenalkan Blog ini sebaiknya tersedia kolom Share dengan jejaring Sosial yang lagi marak. di antaranya: Facebook, Tagged, Twitter, dll.
Terimakasih Wassalam