ZR and Partner

we are can help your problem

 
We Office
Kantor Advokat
Zainuddin H.Abdulkadir, SH & Rekan
alamat: Jl. Hasanuddin No. 83 B Kota Pontianak
telp.0561-7566555
fax.0561 773126
email : zanhak @gmail.com
Partnership
Konsultasi
konsultasi gratis
telp.0561 7566555
dengan Anselma, SH
Just For You
zwani.com myspace graphic comments
Traffic
who online
Your Comments here

ShoutMix chat widget
Kalender

Free Blog Content

Your music
Email
You Tube
Photobucket
UITVOERBAAR BIJ VOORAAD UBV DALAM PERSPEKTIF
Wednesday, November 5, 2008
oleh. Anselma


Korupsi di lembaga-lembaga peradilan adalah sebuah realitas yang terjadi dalam praktik peradilan di Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka di satu sisi mempunyai kelebihan untuk tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif, namun di sisi yang lain terdapat kelemahan yang sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum. Hal ini disebabkan independensi yang telah dimandatkan oleh undang-undang terhadap dunia peradilan justru dimanfaatkan untuk melakukan praktik-praktik kotor oleh para penegak hukum. Lembaga penegak hukum seakan-akan diberi otoritas untuk menentukan hitam putihnya sistem peradilan di Indonesia. Akibatnya praktik-praktik mafia peradilan dalam dunia peradilan justru paling banyak terjadi tanpa mampu disentuh oleh kalangan lain terutama oleh masyarakat.
Praktik judicial coruption atau yang lebih dikenal dengan mafia peradilan bukanlah persoalan sederhana yang dapat dibuktikan secara mudah. Praktik semacam ini terjadi secara sistematis dan bahkan seolah-olah menempel pada sistem yang legal. Dengan demikian sangat sulit untuk membuktikan perilaku korup dalam peradilan dengan menggunakan kaca mata umum. Selain itu praktik judicial corruption justru ditopang sendiri oleh lembaga peradilan yang ada dengan melindungi aparat yang melakukan perbuatan menyimpang tersebut demi menjaga nama baik korp atau lembaga yang dimiliki oleh masing-masing lembaga, baik kepolisian, kejaksaan, kehakiman maupun organisasi-organisasi advokat yang ada tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Lembaga pengawas internal yang dibentuk seolah-olah hanya menjadi simbol belaka tanpa mampu memperhatikan otoritasnya untuk memberikan punishment kepada penegak hukum yang melakukan praktik yang menyimpang.




Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dimana SEMA tersebut dijadikan sebagai perintah atau pedoman bagi para hakim yang ada di bawahnya untuk dilaksanakan dan dipatuhi oleh hakim-hakim. Setiap hakim dalam menjalankan tugasnya harus menghormati dan sebisa mungkin menjalankan SEMA tersebut.
Akan tetapi di dalam pelaksanaannya, keberadaan SEMA belum dapat memberikan kepastian hukum baik bagi hakim yang akan memutus perkara, bagi para pihak maupun penegak hukum lainnya dan justru menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan dalam penerapannya.


Keberadaan SEMA tersebut dalam praktiknya belum dapat memberikan jawaban, dengan kata lain belum dapat memberikan kepastian hukum, yang pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan acuan atau pedoman bagi para hakim yang akan mengeluarkan putusan serta merta. Hal tersebut diperlukan karena dasar hukum yang mengatur mengenai lembaga UBV yang ada selama ini dalam praktiknya banyak menimbulkan permasalahan.
Menurut Hukum Acara Perdata pada dasarnya putusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), kecuali apa yang dinamakan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad) yang diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/191 ayat (1) RBg, yang menentukan bahwa Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan dijalankan terlebih dahulu, walau ada perlawanan (verzet) atau banding jika :
1. Ada surat otentik atau tulisan di bawah tangan yang menurut uu mempunyai kekuatan bukti.
2. Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan.
3. Ada gugatan provisionil yang dikabulkan.
4. Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrecht.


Mahkamah Agung telah mengeluarkan beberapa SEMA yang mengatur tentang UBV, yaitu ;
1. SEMA No. 13 Tahun 1964 tanggal 10 Juli 1964
2. SEMA No.15 Tahun 1969 tanggal 2 Juni 1969
3. SEMA No. 3 Tahun 1971 tanggal 17 Mei 1971
4. SEMA Nomor 6 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975
5. SEMA NO. 03 Tahun 1978 tanggal 1 April 1978.




Banyak permasalahan mengenai keberadaan UBV di dalam pelaksanaanya,selain itu, apakah penerapan UBV hanya dapat di Pengadilan Negeri ataukah juga dapat dilakukan di Pengadilan tingkat Banding atau Kasasi?. Permasalahan lain yang muncul adalah berkaitan dengan ada atau proses bagaimana melaksanakan putusan tersebut ? apakah Majelis Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri, atau Ketua Pengadilan Negeri dengan persetujuan Ketua Pengadilan Tinggi?
Berdasarkan beberapa literatur yang ada, dasar hukum yang mengatur lembaga UBV adalah Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg, dimana aturan tersebut dipakai sebagai pedoman beracara perdata baik pada Peradilan Umum (Negeri) dan Peradilan Agama.
Di dalam Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg yang bunyinya : “Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan itu dilaksanakan lebih dahulu meskipun ada perlawanan atau banding, jika ada alat bukti berupa surat otentik atau bukti tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada putusan sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap, demikian juga jika dikabulkan tuntutan sementara (provisionil), lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik”. Pasal tersebut telah diundangkan pada tahun 1848, dimana kondisi dan paradigma masyarakat pada waktu itu jauh berbeda dengan kondisi dan paradigma masyarakat saat ini, khususnya dalam penegakan hukum.
SEMA yang mengatur mengenai UBV timbul karena biasanya terdapat keinginan dari pihak penggugat untuk memohon dan meminta kepada majelis hakim agar ditetapkan putusan terlebih dahulu, yaitu putusan serta merta atas sesuatu agar obyek sengketa tersebut tidak musnah atau tidak dinikmati oleh pihak tergugat. Hal proses pemberian putusan serta merta tersebut. Lalu mungkinkah ada upaya yang lebih baik dan bagus untuk lebih menjamin kepastian hukum diantara pihak penggugat dan tergugat.
Selain beberapa hal yang telah dikemukakan di atas keberadaan SEMA tersebut dalam praktik justru memberikan peluang bagi para hakim untuk melakukan mafia peradilan, dengan
kata lain sering terjadi penyimpangan, kerancuan dan kebingungan bagi para pencari keadilan sehingga membuka peluang terjadinya praktik-praktik judicial corruption.
Di dalam perkembangan saat ini telah ada pengaturan tentang UBV sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 ayat (5) Perpu Nomor 4 Tahun1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 menjadi Undang-undang, yang berbunyi : “Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.
Di dalam pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg, dimana aturan tersebut dipakai sebagai pedoman beracara perdata, baik pada Peradilan Umum/Negeri dan Agama, yang berbunyi : “Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan itu dilaksanakan lebih dahulu meskipun ada perlawanan atau banding, jika ada alat bukti berupa surat otentik atau bukti tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada putusan sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap, demikian juga jika dikabulkan tuntutan sementara (provisionil), lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik”.
Ketentuan putusan serta merta yang ada dalam HIR/RBG tersebut perlu kiranya dibandingkan dengan formulasi pasal dari persoalan yang sama yang terdapat dalam Reglement op de Rechtvoerdering (Rv) yang diatur dalam Pasal 54 dan 55, kendati aturan Rv tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Perbandingan tersebut diperlukan, mengingat akan implementasi terhadap pasal yang ada dalam praktek beracaranya. Dalam Pasal 54 RV dinyatakan tidak berlaku lagi. Perbandingan tersebut perlu mengingat akan implementasi terhadap pasal yang ada dalam praktek beracaranya. Dalam Pasal 54 RV dinyatakan bahwa pelaksanaan terlebih dahulu
dari putusan-putusan walaupun banding atau perlawanan akan diperintahkan :
1) Apabila putusan didasarkan atas akta otentik yang tidak dilawan atau dibanding lagi diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk memberikan perintah ini dengan atau tanpa tanggungan.
Adapun aturan yang ada dalam Pasal 55 RV ditentukan bahwa “Pelaksanaan terlebih dahulu walaupun banding atau perlawanan dapat diperintahkan dengan atau tanpa tanggungan dalam hal :
1.1 Segala sesuatu yang dikabulkan dengan putusan sementara
1.2 Hak Milik


Sedangkan jika kita lihat rumusan yang ada antara Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg. dengan Pasal 54 dan 55 RV tersebut jelas-jelas di dapati adanya perbedaan dalam kalimat pasalnya dimana kita temukan kata “dapat” yang terdapat dalam Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 55 RV.


Sedangkan kata “akan” didapati dalam Pasal 54 RV. Kata akan dalam Pasal 54 RV tersebut jelas-jelas dimaksudkan sebagai suatu keharusan, sedangkan kata dapat yang ada dalam Pasal 180 ayat (1) atau Pasal 191 ayat (1) Rbg. Serta Pasal 55 Rv tidak mengandung makna keharusan, melainkan hanya suatu kebolehan saja sifatnya, yang dengan demikian aturan tersebut tidak bersifat imperatif bagi hakim dalam menjatuhkan
putusan terkait dengan aturan UBV. Disisi lain makna tersebut juga dapat diperluas, yaitu apabila salah satu syarat yang termuat di dalam pasal tersebut telah terpenuhi.


Pada tahun 1958, tepatnya pada tanggal 13 Februari 1958, Mahkamah Agung mengeluarkan Instruksi Mahkamah Agung dengan Nomor 348/K/5216/M, di dalam Instruksi
Mahkamah Agung itu berisi :
a. Pasal 191 Rechtsreglement Buitengewesten memberi kekuasaan kepada Pengadilan Negeri untuk menyatakan, bahwa putusannya dapat dijalankan lebih dahulu, jika syarat-syarat tersebut dalam Pasal 191, telah dipenuhi ;
b. Pelaksanaan “kan” dalam pasal tadi berarti, bahwa walaupun syarat-syarat telah dipenuhi, namun Pengadilan Negeri tidak harus menyatakan, bahwa putusannya dapat dijalankan lebih dahulu, sehingga soal; memberi pernyataan demikian atau tidak itu, tergantung pada kebijaksanaan (beleid) Pengadilan Negeri :
1) Janganlah secara mudah memberi putusan “uitvoerbaar bij voorraad”
2) Jika ada sita-konservatoir, maka pernyataan kemungkinan pelaksanaan putusan “bij voorrad” hendaknya hanya diadakan, jika harga barang-barang yang disita, tidak akan mencukupi;
3) Jika dapat dibayangkan akan kemungkinan timbulnya kerugian yang sukar diperbaiki bagi pihak, terhadap siapa putusan “uitvoerbaar bij voorraad” akan dijalankan.


Labels:

posted by Zainuddin H.Abdulkadir @ Wednesday, November 05, 2008  
0 Comments:

Post a Comment

agar blog ini lebih baik, kasi komentar ya

<< Home
 
About Me

Name: Zainuddin H.Abdulkadir
Home: Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia
About Me: Nothing ever happened in the past; it happened in the now, nothing will ever happen in the future;it will happen in the now.
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by
ZR AND PARTNER

lbh mabm-kb
-

Blogger TemplatesFree Shoutbox Technology Pioneer Graphic Designer - Company Brand Design
Graphic Designer

 Subscribe in a reader

Subscribe in Bloglines

Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free!

Subscribe in podnova

Powered by Blogger

Life is Such a Wonderful Thing

Sonic Run: Internet Search Engine

Powered by FeedBurner

Blogger Templates

BLOGGER